Posted by : Tapak Tilas Kebudayaan Selasa, 05 Februari 2013



Serius, penulis berwawancara dengan narasumber
Surakarta merupakan salah satu ikon budaya Indonesia. Di dalamnya mudah dijumpai budaya Jawa. Mulai dari hasil sosial kemasyarakatan, seni bangunan, bahasa, pola hidup hingga kuliner. Budaya sangat Nampak sekali di sini. Hal ini dapat dilihat dari seni bangunan, kemasyarakatan, kuliner dan bahasanya. Yang sangat mencolok adalah seni bangunan dan bahasa Jawa kental yang mereka gunakan. Seni batik yang menghiasi sepanjang jalan menambah sedap rasa budaya Jawa.

Untuk menulusuri tentang salah satu ikon budaya Indonesia ini, penulis melakukan interview langsung di Keraton Surakarta dan Masjid Agung Surakarta. Hasil penelusuran penulis terangkum dalam dialog tanya jawab berikut ini.

1. Tujuan saya kemari adalah ke Solo. Setelah sampai di sini, yang saya lihat di papan-papan instansi adalah Surakarta, bukan Solo. Memang beda antara Solo dengan Surakarta? Bedanya apa?

Solo dengan Surakarta itu beda.  Surakarta dahulu merupakan kerajaan bernama Kartasura. Kemudian Kartasura dipindah ke sebuah desa yang bernama Solo (seperti baca Colo, Kudus). Sejak itulah Kerajaan Kartasura berubah nama menjadi Kerajaan Surakarta Hadiningrat. Jadi itu bedanya. 
Sampai sekarang Surakarta masih lestari. Terbukti dengan adanya Raja dan keluarga ndalem yang sah. Keraton Surakarta diakui oleh RI. Yang resmi diakui RI itu Surakarta, bukan Solo.

2. Ini yang menarik. Ri menganut demokrasi. Sedangkan Keraton Surakarta menganut sistem kerajaan. Di mana titik temu antar keduanya dan kedaulatan mana yang diakui?

Setelah kemerdekaan RI, Surakarta menggabungkan diri di bawah RI. Jadi RI yang mutlak berdaulat. Yang jadi kejanggalan sekarang adalah fungsi dari kerajaan Surakarta itu apa. Bagini saya luruskan. Semenjak itu Surakarta tetaplah Surakarta. Hanya saja fungsinya yang berubah. Kerajaan dan Keraton Surakarta masih ada itu untuk menjaga kebudayaan local Indonesia agar tidak punah. Sampai sekarang di dalam Keraton masih ada Raja yang sah. Coba kalau tidak ada Raja, kebudayaan kita pasti punah. Paling-paling keratin hanya jadi museum kalau tidak ada Raja. Tanpanya, Surakarta hanyalah sejarah. Jadi fungsi keberadaan Keraton dan Kerajaan Surakarta adalah sebagai pelestari budaya. RI juga menyetujui akan hal ini.

Rouf (Kiri) Berpose dengan patung penjaga Keraton Surakarta

3. Lalu bagaimana peran Walikota kalau ada Raja?

Kita harus tahu perbedaan antara keduanya. Memang keduanya sama- sama berpengaruh. Namun cakupan pengaruhnya yang beda. Tugas dan fubgsi walikota di sini adalah sebagaimana Walikota wajarnya. Sedangkan Raja berfungsi menjaga kelestarian budaya agar Kerajaan Surakarta ada penerus dan tidak punah. Raja juga bertugas memimpin para budayawan.

4. Di beberapa sudut Keraton saya jumpai dupa-dupa dan bunga-bunga. Adakah semacam aliran Kejawen di sini?

Itu salah pengertian. Dupa dan bunga-bungaan itu hanya sebagai penyakral dan pengahrum ruangan. Bukan sebagai sarana memuja roh halus. 
Kita sebagai manusia selalu dianjurkan untuk sembahyang dan berdoa. Dalam sembahyang dan doa itu kita berusaha sebisa mungkin untuk khusuk. Untuk inilah gunanya dupa dan bunga. Dengan ini suasana ruangan lebih tenang. Kami sengaja mendekorasi Keraton seperti ini agar kekhusukan di Keraton tetap ada. Salah satu sarananya adalah dupa dengan aroma sakralnya dan bunga dengan harumnya. Jadi jangan salah langkah dalam menyikapi perkara yang belum diketahui kejelasannya.semua hal harus kita nilai dengan objektif.

5. Saya tertarik membahas finansial.  Kalau boleh tahu gaji ibu sebagai Abdi Dalem itu berapa?

Pokoknya cukup untuk memnuhi kebutuhan primer dan sekunder. Walau dengan upah seadanya, kami bisa menghidupi keluarga dengannya. Ndelalah ada saja rezeki yang datang. Ndelalah itu tidak masuk rumus matematika.
Kita menjadi Abdi Dalem itu tanpa formalitas danm paksaan. Yang dibutuhkan menjadi Abdi Dalem adalah kesukarelaan dan dorongan untuk melestarikan budaya. Jadi kami ini bisa disebut budayawan. Intinya, harus ada gugahan hati.

6. Yang terakhir, apa pesan ibu untuk pemuda Indonesia yang tengah digempur produk Korea dan barat?

Banggalah pada Indonesia, lalu pada saat yang sama cintailah ia sebagaimana mencintai diri kita. Dengan demikian dimanapun kita tidak akan krisis jati diri dan identitas. Karena jati diri dan identitas kita adalah Indonesia. Walau kita berbeda budaya, bahasa, adat, identitas dan agama. Kita telah dipersatukan Indonesia. Banggalah!

Reporter : Rouf
Narasumber : 
- Ibu Lastri, Pelestari Budaya dan Abdi Dalem Keraton Surakarta
- Pengurus Masjid Agung Surakarta






Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Selamat Datang!

Popular Post

- Copyright © 2013 Tapak Tilas Kebudayaan -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -