Posted by : Tapak Tilas Kebudayaan Minggu, 03 Februari 2013


Sore yang terbilang memesona di pesisir Dewa Bumi Sari. Dengan matahari malunya yang mengintip bumi dari balik awan. Tapi belum mampu melukis bUmi dengan warna keemasannya yang belum dinampakkan. Desir ombak mulai menyanyi membentuk suatu irama, pembacaan puisi oleh alam. Jika saja di sepanjang pesisir ada dermaga, pasti ramai sekarang. Ada yang berlaut, kapal merapat, berdagang, atau hanya sekedar jalan-jalan menikmati sore bersama kerabat. Tapi tak apalah. Pesisir berpasir putih saja sudah lebih dari cukup. Bisasanya di sana ada beberapa anak yang asyik bermain bola, belajar bersepeda, main kejar-kejaran, ataupun petak-umpet. Pokoknya pesisir itu bisa dikatakan “ndandangan”nya penduduk Dewa Bumi Sari, Aceh. Khususnya penduduk desa Serasari. Pesisir itu akan ramai setelah anak-anak pulang dari ngaji.

Beberapa jejak dari sana. Ada sebuah rumah sederhana. Seorang anak sedang terlihat mencari kerudung putihnya. Perasaan tadi ada di atas kasur. Sekarang tidak ada. Dimana. Dia kan hanya pergi mandi epek-epek sebentar. Ini pasti kerjaan kak Zahra yang usil lagi. Kak Zahra memang suka sekali menggoda adiknya yang masih kelas satu ibtida’. Yang senang sekali membuat nangis adiknya, ya Zahra. Yang biasa mengganggu belajar adiknya, ya Zahra. Yang usil memelesetkan bacaan sholat hingga membingunkan adiknya, ya Zahra. Padahal bacaan sholat adiknya belum selancar Zahra. Kerudung hilang, siapa lagi kalau bukan Zahra yang menyembunyikannya. Ada-ada saja. Biasanya barang-barang adiknya disembunyikan di lwmari, di bawah bantal, dan pernah digantungkan pada gantungan baju supaya adiknya tidak bisa mengambilnya karena masih pendek.

“Umi! Kak Zahra usil lagi. Kerudungku disembunyikan,” teriak Haura dari dalam kamar setelah mendapati kerudungnya tak ada di atas kasur.
“Zahra! Kembalikan kerudung adikmu! Dia kan mau berangkat ngaji. Kamu juga kan seharusnya ada les sore ini. Ayo berangkat,” perintah Umi sambil meneruskan jahitan pesanan tatangga.
“Tuh ada di meja belajar. Haura saja yang lupa menaruhnya,” lagi-lagi Zahra ngeles. Umi yan sudah terbiasa dengan situasi yang seperti in tidak mau memperpanjang persoalan. Kalau saja Abi pulang, anak-anak pasti akur. Tapi tak apa, Abi sedang berlaut mencari nafkah sekarang. Selama Abi berlaut, Umi jadi direpotkan pleh dua putrinya. Umi hanya bisa bersyukur dalam hati. Untung kedua anaknya perempuan. Coba keduanya laki-laki. Berantakan pula rumah itu, berkali-kali terkena tendangan penalti yang meleset.

Allaahu akbar... Allaahu akbar...” kumandang adzan menyeru dari surau-surau yang serentak berkumandang berebut masuk ke telinga penduduk Dewa Bumi Sari. Suaranya menembus bilik-bilik membentuk pedang-pedang cahaya bagi mata jiwa yang melihatnya. Adzan yang menandakan sholat ashar, dan ngaji sore segera dimulai setelah jamaah sholat ashar di surau.

            Ngaji berjalan seperti biasa. Pak Yai membaca ayat Al Quran lalu murid-murid menirunya. Murid yang masih belia memang banyak yang kurang bacaannya. Tapi Haura bisa dikatakan cukup mahir untuk anak seusianya.

“Hari ini adalah tanggal 25 Desember 2004, adik-adik. Hari perayaan natal untuk umat Kristen. Perilaku tasamuh adalah salah satu ajaran dalam agama kita. Tasamuh adalah sikap toleransi sesama umat manusia. Asalkan mereka tidak mengganggu kita, kita juga tidak boleh mengganggu mereka. Biarlah mereka memilih kepercayaanya sendiri. Ada yang mau bertanya?”
“Tidak, pak Yai,” sahut murid-murid serentak.
“Baklah. Ngaji sore ini cukup sampai di sini. Ingat! Besok, tanggal 26 Desember ada ujian praktek sholat di madrasah”. Aduh, Haura kan belum lancar bacaan sholatnya. Mudah-mudahan besok lancar-lancar saja. Ujian praktek sholat akan dilaksanakan besok, Ahad, 26 Desember 2004 jam setengah delapan pagi.

            Tak seorang pun tahu saat itu apa yang akan terjadi jika kalender menunjukkan angka 26 besok. Sejarah pilu rakyat Indonesia akan menjejakkan catatan kaki di sudut-sudut lembaran sastra, dan kata-kata pengantar yang akan menceritakan sejarah itu. Tsunami. Bencana kematian terbesar manusia Indonesia yang akan selalu dikenang setiap tanggal 26 Desember. Sejarah yang cukup kuat untuk membungkam Zahra dari usilnya, perindu bagi Haura dan Umi, dan doa yang teriring dari dunia untuk mereka.
Wassalamu ‘alaikum warohmatullaahi wabarokaatuh...” pak Yai menutup ngaji sore ini.
Wa’alaikumus salam warohmatullahi wabarokatuh” dan semoga keselamatan, rahmat dan berkah Allah tercurah padamu. Sungguh indah sapaan dalam Islam. Orang yang menyapa dan yang disapa saling mendoakan. Susunan kata warsan Rasul yang terdiri dari jumlah ismiyah. Ada makna khusus di dalamnya. Jika susunan itu diawali dengan kata kerja (fi’il) maka doa salam, rahmat dan berkah Allah juga dibarengi waktu, karena kata kerja pasti bebarengan waktu. Tapi, susunan dalam sapaan ini istimewa, menggunakan susunan yang tidak memuat waktu (isim). Semoga keselamatan, rahmat dan berkah Allah selalu dan selamanya tercurah padamu. Saking pentingnya sapaan ini dalam Islam, haram hukumnya bagi orang yang disapa tidak menyapa balik. Cermin harmonisme Islam. Di negeri Serambi Mekah ini semakin indah dengan merebaknya sapaan itu, seperti di Kudus.
            Assalamu ‘alaikum, bah. Assalamu ‘alaikum, mi. Assalamu ‘alaikum, kak Zahra. Assalamu ‘alaikum, semua. Lalu  orang yang disapa menjawab “Wa’alaikumus salam, Haura.” Bagaimana mungkin persaudaraan dan ukhuwah akan menghilang dengan mudah di tanah ini jika aturan agama yang mereka anut mengajarkan sapaan yang seharmonis ini.
            Beberapa tapak terjejak di antara butir-butri pasir padang bola. “Ayo, ra! Ikut main tim kita lagi. Pasti menang kalau ada kamu.”
“Aku mggak main bola hari ini. Aku harus belajar sholat dengan benar bersama Umi nanti malam. Aku tidak mau terlalu lelah hari ini. Tapi tim bolaku jangan sampai kalah. Auwas kalau kalah.”
            Beberapa langkah kemudian setelah Haura berjalan pulang. Langkahnya terjerat oleh mata yang memandang kalung emas putih dengan liontin H yang berkilau di ujungnya. Kalung itu terjebak di semak pada sisi yang tak terlihat dari keramaian. Haura mengambil kalung itu lalu memperhatikannya. Kalung itu sudah mampu menarik hati Haura yang masih belia. Haura berpikir. Ini adalah barang temuan yang pernah di ceritakan oleh pak Yai pekan lalu. “Hukumnya apa ya? Kalau tidak salah ini termasuk luqho... luqho... apa ya? Aduh lupa!” Haura agak lupa. Tak ada lagi kerja antar sel otaknya yang terlalu lama. Haura kembali melangkah pulang. Nanti ditanyakan pada kak Zahra.
Assalamu ‘alaikum, kak Zahra!” selalu salam jarak jauh itu dari luar pagar rumah. Berlari ke dalam rumah. Berkeliling mencari kak Zahra. Itu dia, ada di kamar. Tak ada yang pernah mendengar salam jarak jauhnya. Dia selalu menyangkal “Yang penting kan salam. Urusan ada yang dengar atau tidak itu urusan belakangan,”
“Kak, aku menemukan kalung liontin yang bagus. Lihat ini!” Haura mengeluarkan kalung itu dari balik punggungnya dengan efek ‘Jreng... Jreng... Jreng’
“Nemu dimana, ra?” tanya kakak.
“Tadi pas aku pulang, aku melihat kalung ini di pinggiran semak. Ada liontin H-nya. H untuk Haura. Aku mau tanya. Ini namanya barang luqho... apa, kak?”
“Maksudnya? O... mungkin luqhotoh yang kau maksud. Jika kamu merasa bisa mengembalikannya, maka barang ini harus kamu kembalikan pada memiliknya. Kasihan kan jika yang memiliki kalung ini kehilangannya,”
“Bagaimana aku mengembalikannya? Kalung ini kan ada di semak-semak,”
“Entahlah. Tapi kakak pernah dengar ungkapan seperti ini. ‘Sesuatu yang hilang punya cara unik untuk kembali’. Kamu harus mengembalikannya,” untuk menghindari perbincanagn lebih lanjut Zahra meninggalkan adiknya. Biasanya, kalau Haura sudah mulai bertanya, jadi panjang persoalannya. Padahal seharusnya Zahra tahu jawaban dari pertanyaan adiknya. Terkadang Zahra malah bingung sendiri dibuat adiknya.
            Haura hanya bisa ternganga. Kok begitu. Begitu saja? Ah kak Zahra memang begitu. Tidak mau membantu masalah adiknya. Haura jadi berpikir bertanya pada Umi. Umi pasti lebih tahu daripada kak Zahra yang katanya juara kelas itu.
Sekarang menjelang maghrib. Sudah menjadi tradisi di keluarga Umi untuk nderes Al Quran sehabis wiridan jamaah maghrib di rumah sampai datangnya adzan isya’. Nah, setelah isya’, rencananyaHaura akan melancarkan bacaan sholatnya sekaligus praktik secarara sempurna.
“Haura! Ayo, nak, praktek sholat. Ambil wudlu duluuntuk sholat isya’,”
“Ya, mi,” jawab Haura sambil membasuh mukanya, berwudlu.
“Zahra, nanti bacaan sholatmu agak dikeraskan sedikit agar adkimu bisa mendengarnya,”
            Sholat isya’ berjamaah dimulai dengan Umi sebagai imam sholat. “Allaahu akbar...” Haura bertakbir seraya mengangkat tangannya seperti yang diajarkan pak Yai dan Umi. Haura sudah hafal semua gerakannya. Rakaat pertama diawali takbir, doa iftitah, surat Al Fatihah, surat Al Ikhlas—sebenarnya bukan hanya surat Al Ikhlas saja yang bisa dibaca, tetapi karena surat itu yang dibaca pak Yai sewaktu mengajar dan karena suratnya pendek—ruku’, i’tidal, sujud, dukuk, sujud, lalu berdiri untuk rakaat kedua. Hanya tinggal bacaan doa iftitah saja yang kurang lancar, karena bacaannya agak panjang. Terkadang bacaan ruku’ dan sujud sering terbalik karena bacaan yang hampir sama. Selain itu bacaan Haura sudah lancar.
Allaahu akbar kabiiro walhamdu...” kak Zahra bacaanya lirih. Haura tidak dapat mendengar dengan jelas.
Inna sholatii wanusukii wama... wama...” macet.
Wamahyaaya wamamatii lillahi robbil ‘aalamiin,” alhamdulillah lancar lagi. Seharusnya kak Zahra membacanya lebih keras lagi.
            Semua bacaan dan gerakan sudah lengkap, termasuk bacaan dan gerakan yang sunah seperti mengangkat tangan pada saat takbir, doa sujud, doa iftitah, sholawat ibrohimiyah, dan menelunjukkan jari pada saat tasyahud. Terasa lengkap sudah. Besok pagi tinggal ujian praktek di madrasah.
“Mi, tadi sore aku menemukan luqhotoh yang berupa kalung ini di semak dekat lapangan bola. Kak Zahra tadi aku tanya malah kabur. Hukumnya bagaimana?” tanya Haura sesuai rencana. Umi mengerti.
“Kalung itu harus kamu kembalikan dan kamu tidak berhak atas kalung itu. Sebab kalung itu masih milik orang lain. Coba jika Haura kehilangan sesuatu yang berharga. Bagaimana perasaan Haura, sedih, kan?”jelas Umi dan balik bertanya.
“He’em mungkin aku mencarinya sampai ketemu,” Haura belum tahu apa itu sesuatu yang berharga. Barang itu adalah...
“Tentang barang temuan atau luqhotoh sudah diatur dalam Islam. Jika orang yang menemukannya merasa sanggup menjaga dan mengembalikan kepada pemiliknya, maka amant agama yang dipegangnya harus dilaksanakan, Yaitu mengembalikannya,”
“Cara aku mengembailkannya, mi?”
“Entahlah. Tapi di kalung itu kan ada liontin H-nya. Mungkin itu inisial pemiliknya. Coba besok kita cari di dekat lapangan bola. Mungkin ada sesuatu. Atau biar kak Zahra mengumumkannya di Facebook saja,”
“Ide bagus, mi!” Haura setuju.
            Umi sengaja tidak memberi tahu Haura tentang bagaimana cara memiliki kalung luqhotoh itu. Walaupun caranya agak merepotkan dengan berbagai syarat dan waktu minimal untuk bisa memiliki kalung itu adalah setahun. Agar Haura menjadi anak yang bertanggung jawab dan memiliki nilai sosial.
            Hari ini—saat beberapa orang menandai kalendernya pada tanggal 26 Desember 2004—Haura bersiap menghadapi ujian sholatnya. Berangkat bersama Umi. Kak Zahra juga ikut karena hari ini sudah liburan semester.
            Suasana jadi hening dan menegangkan bagi anak yang ikut ujian setelah anak nomor absen dipertama dipanggil untuk praktek. Semua anak duduk tegang. Orang tua yang menunggu di depan tak begitu merasakan ketegangan. Saat itu tepat pukul delapan.
“Haura Yasminul ‘Ain,” panggil pak Yai untuk maju praktek.
            Nafasnya semakin memburu. Haura meyakinkan dirinya. Bismillaahi rohmaanirrohim.
“Allaahu akbar...” tepat saat itu. Saat reetakan akhirat menjarak di Samudra Hindia. Tepat ketika asma Allah diagungkan. Gempa sekuat 8,5 skala richter menarikan tariannya. Tepat ketika malaikat maut bersiap.
“Allaahu akbar kabiiro walhamdu lillaahi katisiiro...” Mendadak air laut surut secara drastis. Orang-orang bertebaran keluar rumah dan mencari perlndungan. Di madrasah, situasi cukup terkendali, tak begitu terasa disana. Padahal jaraknya tidak jauh dari pusat gempa. Setelah gempa dirasa reda, Umi dan orang tua lainnya heboh. Tapi tidak di ruang ujian.
“Inna sholaatii wanusukii wama... wama... wamahyaaya wamamaati... lillaahi robbil ‘alamin...” Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku adalah milik Tuhan penguasa seluruh alam. Lidah kematian mengejar. Tsunami setinggi 9 meter menyapu apapun yang masih berdiri. Tarian kematian mengiringi sapuan tsunami. Situasi semakin ricuh. Tak terkendali. Semua orang panik. Tsunami mulai menyapu madrasah. Umi mencoba menerobos gerombolan orang tua yang panik menyelamatkan anaknya msing-masing. Tapi tidak bisa. Mereka tersapu tsunami bersama mayat dan sampah yang dibawanya.
“Iyyaaka na’budu waiyyaa nasta’iin. Ihdinash shiroothol mustaqiim...” tunjukkan kami jalan yang lurus. Haura tetap melanjutkan sholatnya. Pak Yai mencoba menyelamatkan Haura. Sapuan tsunami yang terlalu kuat mengehentikan langkah pak Yai. Tak sanggup ia menyelamatkan Haura. Haura tak merasa takut. Dia menganggap itu hanya air banjir biasa. Dia ingin seperti sayidina Ali yang tak merakan apapun ketika panah dipunggungnya dicabut ketika sholat. Haura ingin seperti itu. Berpikiran satu. Seperti yang dikisahkan pak Yai.
***
            Sayup-sayup mata Haura terbuka setelah beberapa hari tertutup. “Kalung itu. Dimana kalung itu. Apa yang terjadi. Dimana Umi. Dimana kak Zahra. Dimana aku,” Haura terbangun. Kaki kanannya lebam tertimpa pagar madrasah. Mencoba menegakkan badannya dan berdiri. Tapi apa ini. Dimana bangunan kota. Semuanya ambruk. Rata dengan tanah. Bau busuk menusuk hidung. Suasana menjadi sangat hening. Haura menangis. Ia rindu Umi, kak Zahra, Abi, pak Yai, dan tim bolanya. Rumahnya, madrasahnya, suraunya, lapangannya, semaknya sudah tak berbentuk. Tapi Haura harus tetap bisa menyelesaikan ujian sholatnya. Haura ingin seperti sayidina Ali dan mengembalikan kalung itu.
“Anybody there? Halo!” teriak seorang berwajah khas bule mengagetkan Haura. Haura menoleh ke sumber suara. Orang itu memakai baju dengan bendera merah-putih-biru. Orang belanda itu tak tahu kalau ada Haura, orang yang masih selamat. Semuanya nampak sama, reruntuhan.
            Haura ketakutan. Jangan-jangan orang-orang itu yang membunuh semua orang disini. Jangan-jangan bule ingin menjajah kembali. Pikirannya kacau. Haura bersembunyi di balik reruntuhan. Ketakutan Haura tak logis. Haura belum melihat lencana palang merah di punggungnya. Orang bule itu relawan. Seumpama Haura melihatnya pun dia tak tahu kalau orang bule itu relawan.
Langkah orang bule itu mendekat. Semakin dekat. Sebelum lebih dekat lagi, Haura lari. Orang bule itu berlari spontan melihat ada yang masih selamat. Dengan kaki kanan yang lebam Haura merotasi kakinya secepat mungkin. Orang bule itu berlari mengejar Haura. Langkahnya semakin cepat. Tapi bagaimanapun Haura tetap anak kecil yang tak berdaya dengan liontin di tangannya. Kejar-kejaran yang sengit berlangsung. Belum ada yang menang. Lama-kelamaan Haura tertangkap.
“Lepaskan aku. Kamu jahat! Kamu yang telah membunuh Umiku! Kamu yang telah menjajah negaraku! Lepaskan aku!” Haura berontak dari tangkapan orang bule itu. Air matanya mengucur.
“Calm down! Calm down! Rilex! Look at me!”
            Karena perbedaan bahasa yang mereka gunakan maka terjadi miss komunikasi. Orang bule jadi bingung. Dia lalu membawa Haura ke posko terdekat untuk diberi pertolongan walaupun Haura tetap berontak.
            Sesampainya di posko, Haura ditenangkan oleh wajah Indonesia yang selamat. Seorang anggota PMI menjelaskan apa yang terjadi sembari memberikan pertolongan pada kaki kanannya.
“Oh begitu,” pikir Haura.
            Seorang ibu berkalung salib mendekatinya. Ibu itu menangis melihat di leher Haura tergantung sebuah liontin H. Sepertinya ibu itu mengenali kalung yang ada di leher Haura.
“Ibu mengapa menangis?” tanya Haura.
“Ibu teringat Helina, anak ibu. Aku teringat saat membeli liontin H seperti punyamu untuk hadiah natalnya. Dia senang sekali saat itu. Lalu kami pergi jalan-jalan merayakan natal di pesisir Dewa Bumi Sari. Tiba-tiba kalung Helina hilang saat dia bermain petak-umpet. Dia menangis saat tahu liontinnya hilang. Kami mencari di sepanjang pesisir, tapi tidak ketemu.”
“Ini kalung anak ibu, ya? Aku menemukannya di semak dekat lapangan bola pesisir Dewa Bumi Sari. Ini aku kembalikan. Bismillah aku kembalikan.” Haura menyerahkan kalung itu pada mustahiqnya. “Anak ibu dimana?”
            Ibu itu semakin haru dalam tangisannya. Seharusnya Haura tidak menanyakan hal itu. Ibu itu hanya bisa menjawab dengan tangis. Haura mengerti. Dirasanya situasi tidak enak. Haura memulai obrolan.
“Aku juga rindu pada Umi dan kak Zahra, meskipun kak Zahra suka usil, Abi juga.”
“Yang sabar ya, buk, dek.” relawan Indonesia mencoba menabahkan mereka berdua. Di samping relawan itu, ada orang bule yang tadi, tersenyum manis pada Haura. Haura jadi kikuk, malu. Lalu Haura meminta maaf atas sikapnya tadi.
“Maaf ya, kak.”
Orang bule itu kembali tersenyum dan menganggukkan kepala. Walaupun bahasa ‘maaf’ mereka berbeda, orang bule itu paham. Dia paham dari sikap imut Haura yang ditunjukkan lewat kerudung yang tak lagi putihnya. Karena sinar mata peminta maaf selalu sama. Karena kata maaf, sorry, ‘afwan, ngapuntene dan apalah itu, mempunyai satu inti yang disampaikan secara keadatan negara masing-masing.
“Haura!” panggil seorang bernada gembira yang baru masuk ke dalam posko.
“Abi!”
“Haura, anakku!” Abi memeluk erat Haura. “Abi rindu padamu. Abi sudah tahu semuanya, nak. Sabar ya. Ada Abi disini.”
“Iya, bi. Umi kan sedang di surga. Tapi kak Zahra yang usil itu di surga tidak, bi?”
“Iya dong. Kan anak Abi juga.” Suasana mencair setelah tawa kecil terdengar dari posko itu. Ada Haura, ada Abi, ada ibu kalung salib, ada om... om... om... siapa ya?
Kalung itu telah kembali ke tangan pemiliknya. Lebih tepatnya ahli warisnya. Haura tahu sesuatu sekarang—yang dikatakan Umi dan kak Zahra—akan kembali. “Sesuatu yang berharga punya cara unik untuk kembali.” Sesuatu yang berharga bukan sekedar kalung. Tapi suasana ini, Abi, ujian sholat, pak Yai, toleransi dan kepergian Umi yang akan kembali.
            Suatu saat, ketika Haura harus mengejar ujian sholat yang sesungguhnya, dia akan teringat saat ini. Saat dia diwajibkan dengan luqothoh di tangannya, saat dikejar orang asing, saat mencoba berlari darinya dan harus tertangkap, saat dia harus meninggalkan tim bolanya demi sholat, saat menemukan H yang lebih menarik, saat melihat sesuatu di semak, saat merasa terperangkap oleh wama... wama... wama..., saat mencari kerudung putihnya, dia harus ingat sayidina Ali, dia harus berpikiran satu, saat itulah dia akan menemukan luqothoh dari sang Pengasih.

*) Penemu luqothoh adalah penulis di komunitas Writer Society of TBS.

diselesaikan di Kudus, 9 Desember 2011 M / 13 Muharam 1433 H dengan penuh “luqothoh” yang harus disampaikan kepada “mustahiq”nya.
Memenangkan penghargaan “Terbaik Cipta Cerpen 2011”

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Selamat Datang!

Popular Post

- Copyright © 2013 Tapak Tilas Kebudayaan -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -