Regenerasi Semangat Ngaji

Selasa, 05 Februari 2013
Posted by Tapak Tilas Kebudayaan
Tag :
Rouf (kiri) saat serah terima hadiah dengan warga setempat


Wonosobo merupakan sebuah kabupaten yang terletak di Jawa Tengah. Kabupaten ini dipagari gunung-gunung yang mengapitnya. Peradabannya cukup ramai. Namun banyak daerah di sana yang masih tertinggal dan tak jarang terisolasi dari dunia luar. Maklum, banyak daerah terletak di pelosok dan lereng gunung. Di samping itu juga Kabupaten ini tidak begitu strategis dalam jalur transportasi. Walau demikian, banyak sekali sisi kebudayaan yang dikandungnya. Salah satu dari sekian banyak budayanya adalah budaya masyarakat untuk mengaji ilmu agama.

Demi kepentingan penelusuran budaya masyarakat pelosok dalam mengaji pengetahuan agama, penulis melakukan riset langsung di desa Gedeghan kecamatan Wonosobo kabupaten Wonosobo. Agar observasi yang penulis lakukan matang, penulis melakukannya selama 9 hari. Penulis diterima di rumah sederhana milik seorang tokoh, Bapak Bedjo.

Hasil Obesrvasi
Rouf (paling kiri) foto bersama anak-anak saat perpisahan
Masyarakat Gedeghan adalah masyarakat yang awam agama. Berbagai aliran keagamaan pernah masuk di sana. Hal ini dikarenakan minimya pengetahuan agama. Dalam sejarah desa, pernah terjadi ketegangan antar dua aliran agama. Masjid utama desa direbut oleh aliran yang berbeda dari keduanya. Akibatnya masyarakat sempat memanas. Karena mereka tidak punya wawasan memadai tentang agama, jadilah mereka di bawah kekuasaan aliran baru. Hal ini berlangsung bertahun-tahun. Hingga salah seorang anak desa bernama Taqwin merantau ke Kudus guna menimba ilmu. Setelah anak tersebut kembali lagi ke Wonosobo.

Keluar dari permasalahan tersebut, masyarakat Wonosobo itu pecinta ketenangan. Terbukti dengan gaya hidupnya yang tidak neko-neko. Kehidupan mereka sederhana. Mulai pagi mereka bekerja di ladang. Ketika mereka mendengar suara adzan Dzuhur, mereka akan kembali sejenak untuk beristirahat. Kemudian pekerjaan meladang akan mereka teruskan sampai mendengar adzan Ashar jam empat sore. Kehidupan mereka begitu sederhana.

Kesederhanaan hidup mereka membuat tradisi budaya mengakar kuat dalam nadi. Salah satu budaya yang mereka pegang kuat adalah semangat mengkaji ilmu agama. Walaupun mereka masih awam dalam beragama, namun ketika penulis mengajarkan beberapa pengetahuan dasar agama di sana, antusiasme mereka begitu kentara jelas. Semuanya ikut ngaji, anak, ibu, bapak sampai kakek dan nenek sangat antusias.

Kehidupan penulis selama bersama mereka sangat bersahaja. Hanya satu penghambat komunikasi kami. Yaitu perbedaan bahasa dan logat. Namun tak begitu masalah. Mereka dapat berkomunikasi dengan bahasa wajah.

Setiap sore hari bakda Ashar, anak-anak selalu ramai memenuhi musholla kecil yang digunakan penulis unutk mengajar. Kesempatan ini dimanfaatkan betul untuk menanamkan nilai dan moral luhur serta cita-cita mengangkasa dalam karakter anak. Dengan pendekatan cerita dan permainan yang mengasah otak, mengaji agama menjadi sangat meriah.

Bakda maghrib giliran ibu-ibu yang mengaji. Penulis memberikan beberapa dasar keagamaan. Antara lain tauhid dan fiqih. Semua penulis lakukan untuk menjunjung rasa solodaritas antar saudara sebangsa. Tak lupa penulis menambahkan, “Perbedaan dalam beragama itu biasa. Yang penting kita pegang teguh prinsip kita. Kemudian kita juga harus saling menghargai antar saudara sedarah.”

Benar, semangat ngaji tidak pernah luntur di sana. Walaupun mereka kelelahan akibat seharian berladang, tak mengecilkan api semangat mereka untuk berwawasan.

Reporter : Rouf
Narasumber : Warga desa Gedhegan Wonosobo

Berbenah Budaya

Posted by Tapak Tilas Kebudayaan
Tag :


Harap Cemas Menuju Budaya luhur
Semua hal yang sesuai dengan norma yang kita anut sepantasnya dipertahankan dan dilestarikan. Berbagai budaya luhur bertuan rumah di rumah kita, Indonesia. Namun, tidak semua budaya yang ada di rumah kita itu luhur. Budaya korupsi misalnya. Budaya ini begitu mengakar kuat selama bertahun-tahun dan membudaya dalam pola pikir masyarakat kita. Sudah seharusnya kita sebagai tuan rumah menjaga isi rumah kita sendiri. Salah satu penyebab membudayanya korupsi adalah ideologi ‘halus’ yang mengatakan “Alon-Alon Waton Kelakon”.

Pembahasan

Sekilas tak ada yang aneh dari pepatah itu. Benar, pepatah itu akan membawa manfaat jika penggunanya benar dalam melaksanakan dan menafsirkan. Jika sebaliknya, salah guna dan penafsiran, generasi bangsa terancam inflasi moral. Dengan kalimat lain, pepatah yang mendarah daging dalam tradisi kita itu berbahaya jika salah dalam penggunaan. Seperti, energi nuklir yang mampu menjadi energi besar alternatif jika mampu memanfaatkan. Atau, justru menjadi bom yang sangat ditakuti manusia.

Kesalahgunaannya adalah pada peletakannya. Yaitu yang seharusnya pepatah itu digunakan untuk target jangka panjang. Tapi, karena kombinasi dengan watak orang Indonesia yang tidak sabaran, maka peletakannya tidak pada target jangka panjang melainkan target jangka pendek. Contohnya kesuksesan masa depan adalah suatu target jangka panjang berpuluh-puluh tahun mendatang dengan berbagai perjuangan yang tidak mudah. Perjuangan waktu, masa muda, berdaya pikir, mematahkan tulang dan berkeringat darah. Jika melalui serangkaian proses yang benar dengan waktu yang lama, maka alon-alon waton kelakon pelan-pelan pasti tercapai.

Ujian nasional yang akan dihadapi seorang pelajar harus membutuhkan waktu tiga tahun, keseriusan belajar tiap semester, pola pembagian waktu yang seimbang, bimbingan yang benar, demokratis dalam belajar dan berdoa. Tapi semua proses yang seorang pelajar jalani selama tiga tahun, seolah diungkrat menjadi satu semester saja di tahun ketiga.

Fakta membuktikan demikian. Menjelang ujian nasional akan banyak terjadi pemadatan materi UN yang seolah mengabaikan pelajaran lainnya dan menganggapnya tidak penting. Pelajar yang tidak siap dengan target jangka panjangnya akan mengambil tindakan jangka pendek. Yaitu coba mencari bocoran kunci jawaban dan bertindak curang.

Fakta lain di Indonesia yang didalamnya banyak kemiskinan, masyarakat yang frustasi dengan kemiskinan akan mengambil langkah pendek dengan tindak kecurangan dan kriminal. Seorang pedagang akan bertindak curang dengan mengusahakan modal seirit-iritnya dan untung sebanyak-banyaknya. Karena itu banyak dijumpai produk pengawet yang berbahaya, pewarna tekstil yang tidak tawar dengan kesehatan maupun barang berkualitas jelek bahkan basi dipoles sedemikian rupa sehingga menjadi barang yang terlihat berkualitas tinggi.

Kelanjutannya, kemiskinan masyarakat tidak cukup diatasi hanya satu-dua tahun. Dibutuhkan rencana yang matang pelaksanaan demokratis jangka waktu yang lama dan evaluasi. Tidak bisa disamakan antara jangka panjang dan target jangka pendek.

Pembelokan budaya oleh oknum tidak bertanggungjawab
Fatalnya, pemilu di Indonesia yang diharapkan banyak kalangan sebagai titik awal perubahan bangsa ke arah kongkrit yang lebih maju, ternodai dengan ulah sebagian oknum yang tak bertanggung jawab. Sebagian oknum memanfaatkan kondisi masyarakat Indonesia untuk mencapai tujuannya. Kondisi masyarakat yang lelah dengan ketidakmakmuran dan frustasi dengan kemiskinan serta rindu kesejahteraan membuat sebagian masyarakat mengambil cara pintas, sesaat dan pendek. Yaitu, menerima uang sogokan dengan imbalan suara yang diberikan kepada oknum penyogok. Padahal dampak jangka panjangnya lebih buruk. Sekali lagi, target jangka panjang tidak bisa disamakan dengan target jangka pendek.

Ketidaksabaran, frustasi dan tekanan membuat banyak kalangan mengambil jalan pintas. Cara yang pada klimaksnya berdampak panjang terhadap harapan majemuk masyarakat. Butuh waktu, perjuangan dan doa untuk meneguk indahnya masa depan. Jadi, sudah seyogyanya kita yang dikaruniai akal untuk bisa berpikir jernih dan berjangka panjang. Sudah sewajibnya kita menjaga diri dari apapun yang kelak merugikan bagi diri sendiri dan lingkungan. Sebenarnya manusia mampu berpikir dan bertindak bijaksana, hanya terkadang keadaan yang menekan menjadikan kebijaksanaan itu tidak terwujud.

Remusikalisasi Rebana

Posted by Tapak Tilas Kebudayaan
Tag :

Meriah, salah satu grup rebana isi acara
Rebana atau dalam bahasa aslinya “Hadroh” merupakan alat musik Islami yang sering dimainkan mengiringi shalawat. Budaya memainkan alat musik ini dimulai dari sahabat Anshar. Kala itu, mereka memainkan rebana untuk menyambut Nabi yang baru tiba di Madinah dalam perjalanan hijrah beliau. Suka cita para sahabat mereka ekspresikan dalam bait shalawat badar dengan iringan rebana. Sejak saat itu rebana masyhur di kalangan muslimin sampai sekarang. Musik ini berkembang dan meluas ke daerah Islam dan sampai di Indonesia.

Walau rebana bukan berasal dari Indonesia, namun permainannya sudah mentradisi sejak dahulu dan susah dihilangkan. Karenanya musik ini terus berkembang sampai sekarang. Dewasa ini muncul banyak grup rebana di berbagai daerah. Ini salah satu dampak positif di bidang musik Indonesia.

Bahan dasar pembuatan rebana adalah kulit dan kayu jati. Kayu dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat dimainkan. Bagian depan ditutup kulit. Kulit inilah yang menghasilkan bunyi ketika rebana diketuk. Dalam perkembangannya, bentuk rebana semakin beragam. Ada yang kecil, sedang maupun besar. Bahan pembuatannya sudah bukan kulit saja, bahan mika sudah mulai digunakan.

Macam-Macam Rebana

Di Indonesia, rebana berakulturasi dengan budaya lokal. Dari hasil akulturasi inilah muncul berbagai jenis permainan rebana. Ada terbang papat, zipin, rebana modern dan rebana hadroh.

1.       Terbang papat berkembang di Jawa. Terbang jenis ini tidak jauh beda dari terbang jenis lain. Baik cara memainkan dan menggunakannya. Yang menjadikan khas terbang ini adalah genjring yang ada pada terbang disumpal sehingga suaranya cemplang. Terbang papat biasa dimainkan tanpa vokalis utama. Lazimnya para penabuh terbanglah yang memukul terbang sambil bershalawat. Akibatnya suasana makin riuh. Khajatan, sunatan, mauludan dan acara-acara keagamaan di desa kerap menampilkan terbang papat.

2.       Rebana zipin dan rebana modern hampir sama. Keduanya memiliki irama dangdut khas Indonesia. Yang membedakan hanya penambahan alat musik modern seperti keyboard untuk rebana modern. Rebana zipin dan modern bisa dijumpai hampir di semua kaset rebana yang beredar luas.

3.       Rebana hadroh merupakan yang paling digemari saat ini. Khususnya di wilayah Karesidenan Pati. Hal ini disebabkan karena banyaknya grup rebana hadroh yang bermunculan. Selain itu, event keagamaan dan lomba turut memberikan sumbangsih pada majunya rebana hadroh.

Rebana hardoh memiliki irama yang lebih enerjik dibanding rebana lain. Jenis ini juga mudah dipadukan dengan berbagai aransemen lagu modern seperti pop. Itulah yang menyebabkan kreatifitas para pemainnya tak hentinya berkembang.

Sekitar lima tahun yang lalu rebana ini pernah heboh dan buming di masyarakat. Beliau Habib Syeh bin Abdul Qadir as-Segaf dan grup rebana Ahbabul Musthofa yang meluaskan persebaran rebana hadroh. Bahkan rebana ini pernah terdengar sampai di istana saat pernikahan putra Presiden Republik Indonesia dengan putri Hatta Rajasa. Namun dewasa ini, demam Ahbabul Musthofa sudah mereda.

Mulai tahun dua ribu sepuluhan grup rebana usia pelajar mulai berkembang hingga sekarang. Hal ini tak lepas dari berbagai ajang yang menggelar rebana kaum pelajar. Didukung dengan kreatifitas keremajaan mereka, aransemen rebana hadroh semakin berfariasi dan unik. Rebana inilah yang banyak terdengar di banyak acara keagamaan sekarang ini.

Rebana merupakan budaya luhur yang selayaknya kita jaga dan lestarikan. Di samping banyaknya nilai pahala dalam rebana yang diiringi shalawat, permainan musik ini juga sebagai bukti kekayaan budaya lokal bangsa kita. Jadi, buatlah Indenesia bangga sebagai tuan rumah bermacam-macam budaya luhur.

Meneropong Tradisi Buka Luwur

Posted by Tapak Tilas Kebudayaan
Tag :


Berdesakan, warga berebut brekat umum
Sudah tak asing lagi bagi masyarakat Kudus mengenai acara Buka Luwur Sunan Kudus. Acara ini dilaksanakan setiap tanggal 10 Muharamm atau 10 Syuro tahun Hijriyyah. Sebagian masyarakat mengangap bahwa upacara Buka Luwur merupakan upacara peringatan hari wafat atau haul beliau Kanjeng Sunan Kudus. Namun anggapan mereka keliru. Mengenai hari dan tanggal wafatnya Sunan Kudus sampai sekarang tidak diketahui. Jadi upacara Buka Luwur tidak untuk mengahauli Sunan Kudus. Hanya saja untuk memperingati hari wafat beliau, pengurus memperingatinya bertepatan hari besar Islam, 10 Muharram.

Buka Luwur secara etimologi berarti membuka kain kafan. Sedangkan secara terminologi Buka Luwur adalah serangkaian upacara untuk memperingati wafatnya Sunan Kudus yang dilaksanakan pada tanggal 10 Muharam. Pada area sentral makam Sunan Kudus terdapat kain putih yang menghiasi  dinding makam dan langit-langit. Kain putih itu disebut luwur oleh warga sekitar. Luwur akan diganti dengan kain yang baru melalui prosesi Buka Luwur yang sengaja dibarengkan dengan peringatan 10 Muharam setiap tahunnya. 

Suasana Dapur Buka luwur
Menyoal tentang diadakannya pada tanggal 10 Muharam, sebab hari tersebut merupakan hari besar umat Islam. Pada hari itu Nabi Yunus keluar dari perut ikan paus. Nabi Yusuf keluar dari sumur ketika dibuang oleh saudara-saudaranya. Nabi Adam bertemu dengan Hawa di  Jabal Rahmah pada hari itu. Hari itu banjir bandang pada masa Nabi Nuh surut. Nabi Ibrahim selamat ketika di bakar Raja Namrud. Nabi Musa selamat dari kejaran Raja Firaun dan pasukannya. Nabi Ayub sembuh dari penyakit menahun yang dideritanya. Pada hari itulah hari kemenangan Nabi-Nabi Allah atas musuhnya. Sebab itu peringatan wafatrnya Sunan Kudus yang tidak diketahui diperingati pada tanggal 10 Muharam.

Secara kronologis sebenarnya proses upacara Buka Luwur diawalai dengan Jamas Pusaka. Preosesi ini merupakan  penyucian pusaka berupa keris yang diyakini milik Sunan Kudus dan pusaka lain peninggalan  beliau. Acara tersebut dilaksanakan pada hari Kamis Wage tanggal 10 Dzulhijjah 1433 H pukul tujuh pagi.

Tepat tanggal 1 Muharam 1434 H pada pukul  setengah  enam pagi diadakan  pelepasan Luwur dari area makam sentral. Luwur merupakan sejenis kelambu atau kain putih yang digunakan untuk menutupi makam daripada Sunan Kudus. Serta untuk menghiasi dinding dan langit-langit di sekeliling kompleks makam, Luwur. Karena Luwur tersebut telah menjadi bagian dari makan Sunan Kudus, tak ayal Luwur itu diperebutkan masyarakat yang ingin mendapatkan berkah.

Agenda selanjutnya yakni Munadharah Masail Diniyah yang diselenggarakan pada hari Ahad Legi tanggal 4 Muharam pukul setengah sembilan pagi. Kemudian malam harinya diadakan Doa Rasul dan Terbang Papat sebagai wujud kecintaan pada Rasulullah SAW. Pagi hari setelah shalat Shubuh dilangsungkan Khatmil Quran bil Ghaib yang dilanjutkan dengan Santunan Anak Yatim pukul delapan pagi. Pada jam yang sama, berlangsung juga acara pembagian bubur Asyura. Pembagian bubur ini diadakan setiap tahun untuk meneruskan tradisi Nabi Nuh. 

Bubur Nabi Nuh

Dahulu kala, pengikut Nabi Nuh yang setia melaksanakan perintah nabinya dengan mengikuti beliau naik kapal. Kala itu Nabi Nuh dan umatnya diterpa banjir bandang. Kemudian surutlah banjir bandang yang menerpa bumi. Di kapal tersebut masih tersisa beberapa makanan. Kemudian setelah banjir surut, oleh Nabi Nuh makanan itu dijadikan bubur dan dimakan bersama sebagai wujud syukur. Peristiwa inilah yang mendasari diteruskannya pembagian Bubur Asyura untuk mengenang peristiwa besar tersebut. “Agar umat Islam itu mengingat sejarahnya, berasal dari manusia kapal,” tutur KH. Sya’roni Ahmadi.


Tanggal 10 Muharam pukul setengah delapan malam diadakan Pengajian Umum yang dihadiri ulama Kabupaten Kudus dan Habib Umar Al-Muthahar. Dengan diadakannya pengajian ini diharapkan masyarakat bisa mengenal dan mengambil suri tauladan dari Sunan Kudus yang mewarisi akhlak Nabi. “Dengan segini banyaknya peziaraah yang berkunjung ke makam beliau, sudah tentu beliau adalah orang yang hebat. Kita tidak pernah bertemu beliau, tapi kita cinta beliau. Kita tidak pernah bertemu beliau, tapi kita terbayang wajahnya, kita terbayang akhlaknya, kepribadiannya dan bertemu dengannya,” tutur Habib Umar dalam Mauidhahnya.

Pembagian berkat umum dilaksanakan seusai shalat shubuh. Acara yang dinanti-nanti ini menyedot antusias warga, pria-wanita, tua-muda, luar kota-dalam kota, semuanya tumpah ruah dan tumplek blek ikut berebut nasi brekat. Masyarakat harus bersusah payah dan berdesak-desakan untuk mendapat jatah. “Saya senang dan puas mendapat nasi brekat ini. Saya sampai tidur di Masjid Menara tadi malam agar bisa antre pagi-pagi supaya tidak kehabisan,” tutur seorang warga yang ikut berdesak-desakan.

Buka Luwur berlangsung secara kronologis dan berjalan turun-temurun dari generasi ke generasi. Peringatan Buka Luwur mempunyai nilai yang tinggi untuk meneladani perjuangan para Wali khususnya Sunan Kudus, beliau Syekh Ja’far Shadiq.



Reporter: Rouf
Sumber: 1. Panitia Buku Luwur
              2.  Masyarakat  sekitar    

Rekam Jejak Kerajaan Surakarta

Posted by Tapak Tilas Kebudayaan
Tag :


Serius, penulis berwawancara dengan narasumber
Surakarta merupakan salah satu ikon budaya Indonesia. Di dalamnya mudah dijumpai budaya Jawa. Mulai dari hasil sosial kemasyarakatan, seni bangunan, bahasa, pola hidup hingga kuliner. Budaya sangat Nampak sekali di sini. Hal ini dapat dilihat dari seni bangunan, kemasyarakatan, kuliner dan bahasanya. Yang sangat mencolok adalah seni bangunan dan bahasa Jawa kental yang mereka gunakan. Seni batik yang menghiasi sepanjang jalan menambah sedap rasa budaya Jawa.

Untuk menulusuri tentang salah satu ikon budaya Indonesia ini, penulis melakukan interview langsung di Keraton Surakarta dan Masjid Agung Surakarta. Hasil penelusuran penulis terangkum dalam dialog tanya jawab berikut ini.

1. Tujuan saya kemari adalah ke Solo. Setelah sampai di sini, yang saya lihat di papan-papan instansi adalah Surakarta, bukan Solo. Memang beda antara Solo dengan Surakarta? Bedanya apa?

Solo dengan Surakarta itu beda.  Surakarta dahulu merupakan kerajaan bernama Kartasura. Kemudian Kartasura dipindah ke sebuah desa yang bernama Solo (seperti baca Colo, Kudus). Sejak itulah Kerajaan Kartasura berubah nama menjadi Kerajaan Surakarta Hadiningrat. Jadi itu bedanya. 
Sampai sekarang Surakarta masih lestari. Terbukti dengan adanya Raja dan keluarga ndalem yang sah. Keraton Surakarta diakui oleh RI. Yang resmi diakui RI itu Surakarta, bukan Solo.

2. Ini yang menarik. Ri menganut demokrasi. Sedangkan Keraton Surakarta menganut sistem kerajaan. Di mana titik temu antar keduanya dan kedaulatan mana yang diakui?

Setelah kemerdekaan RI, Surakarta menggabungkan diri di bawah RI. Jadi RI yang mutlak berdaulat. Yang jadi kejanggalan sekarang adalah fungsi dari kerajaan Surakarta itu apa. Bagini saya luruskan. Semenjak itu Surakarta tetaplah Surakarta. Hanya saja fungsinya yang berubah. Kerajaan dan Keraton Surakarta masih ada itu untuk menjaga kebudayaan local Indonesia agar tidak punah. Sampai sekarang di dalam Keraton masih ada Raja yang sah. Coba kalau tidak ada Raja, kebudayaan kita pasti punah. Paling-paling keratin hanya jadi museum kalau tidak ada Raja. Tanpanya, Surakarta hanyalah sejarah. Jadi fungsi keberadaan Keraton dan Kerajaan Surakarta adalah sebagai pelestari budaya. RI juga menyetujui akan hal ini.

Rouf (Kiri) Berpose dengan patung penjaga Keraton Surakarta

3. Lalu bagaimana peran Walikota kalau ada Raja?

Kita harus tahu perbedaan antara keduanya. Memang keduanya sama- sama berpengaruh. Namun cakupan pengaruhnya yang beda. Tugas dan fubgsi walikota di sini adalah sebagaimana Walikota wajarnya. Sedangkan Raja berfungsi menjaga kelestarian budaya agar Kerajaan Surakarta ada penerus dan tidak punah. Raja juga bertugas memimpin para budayawan.

4. Di beberapa sudut Keraton saya jumpai dupa-dupa dan bunga-bunga. Adakah semacam aliran Kejawen di sini?

Itu salah pengertian. Dupa dan bunga-bungaan itu hanya sebagai penyakral dan pengahrum ruangan. Bukan sebagai sarana memuja roh halus. 
Kita sebagai manusia selalu dianjurkan untuk sembahyang dan berdoa. Dalam sembahyang dan doa itu kita berusaha sebisa mungkin untuk khusuk. Untuk inilah gunanya dupa dan bunga. Dengan ini suasana ruangan lebih tenang. Kami sengaja mendekorasi Keraton seperti ini agar kekhusukan di Keraton tetap ada. Salah satu sarananya adalah dupa dengan aroma sakralnya dan bunga dengan harumnya. Jadi jangan salah langkah dalam menyikapi perkara yang belum diketahui kejelasannya.semua hal harus kita nilai dengan objektif.

5. Saya tertarik membahas finansial.  Kalau boleh tahu gaji ibu sebagai Abdi Dalem itu berapa?

Pokoknya cukup untuk memnuhi kebutuhan primer dan sekunder. Walau dengan upah seadanya, kami bisa menghidupi keluarga dengannya. Ndelalah ada saja rezeki yang datang. Ndelalah itu tidak masuk rumus matematika.
Kita menjadi Abdi Dalem itu tanpa formalitas danm paksaan. Yang dibutuhkan menjadi Abdi Dalem adalah kesukarelaan dan dorongan untuk melestarikan budaya. Jadi kami ini bisa disebut budayawan. Intinya, harus ada gugahan hati.

6. Yang terakhir, apa pesan ibu untuk pemuda Indonesia yang tengah digempur produk Korea dan barat?

Banggalah pada Indonesia, lalu pada saat yang sama cintailah ia sebagaimana mencintai diri kita. Dengan demikian dimanapun kita tidak akan krisis jati diri dan identitas. Karena jati diri dan identitas kita adalah Indonesia. Walau kita berbeda budaya, bahasa, adat, identitas dan agama. Kita telah dipersatukan Indonesia. Banggalah!

Reporter : Rouf
Narasumber : 
- Ibu Lastri, Pelestari Budaya dan Abdi Dalem Keraton Surakarta
- Pengurus Masjid Agung Surakarta






Menakar Rupiah Sebutan Budaya

Posted by Tapak Tilas Kebudayaan
Tag :

Semua sisi kehidupan tak bisa luput dari kaca mata ekonomi. Mulai dari sosial, agama, kenegaraan, organisasi, peradaban dan budaya. Lensa ekonomi sering digunakan untuk menilai segala hal. Termasuk untuk menakar kebudayaan.

Sangat banyak budaya yang dimiliki negara kita. Mulai dari yang terjepret kamera maupun tidak. Budaya kita tersebar di berbagai pelosok. Missal saja budaya kita yang berada di Bali.

Bali adalah pulau super power dengan banyak pesona pemandangan yang menarik. Setiap tahun banyak sekali wisatawan asing maupun lokal yang bersenang ria menikmati pulau super power itu. Dari banyaknya pelancong yang berwisata di sana melonjakan jumlah pemasukan negara. Dari Bali saja, kita dapat menakar berapa rupiah yang dihasilkan dari kebudayaan. Belum budaya lain yang kita miliki di berbagai pelosok negara kita.

Fakta lain berkata bahwa Jogjakarta adalah kota yang banyak menyedot perhatian wisatawan karena keberagaman budayanya. Kota ini menjadi sentra wisata Jawa Tengah selain Surakarta. Tidak dapat dipungkiri, kemajuan Jogjakarta ditopang ekonomi masyarakat yang kuat dari hasil pariwisata.

Dua objek tersebut cukup menggambarkan secara umum bagaimana pundi-pundi rupiah yang menganak dari pariwisata. Hal ini mengakibatkan pemerintah gencar mempromosikan bermacam-macam objek wisata. Satu hal yang sangat menarik di Indonesia yang tidak dimiliki negara lain. Yaitu keberagaman budayanya yang mampu menyedot banyak wisatawan yang berkunjung ke Indonesia. Selain menikmati keindahan alam kita, hal terpenting yang pelancong cari adalah keunikan budaya yang kita punya.

Daya tarik yang paling kita unggulkan adalah banyaknya budaya kita. Tak heran berdatangan berbagai studi yang mengkaji budaya kita. Mulai dari orang Eropa, China, Jepang maupun tetangga sebelah. Hanya terkadang, kita sendiri yang kurang pandai mengelola kekayaan runah kita.

Dengan tata olah budaya yang baik dan benar akan membawa kita menjadi bangsa yang bangga akan budaya sendiri, di samping nilai rupiah yang menggiurkan di dalamnya. Jadi, keluhuran dan keberagaman budaya adalah identitas kita yang membuat kita bangga disebut sebagai bangsa yang berbudaya.

Bedhug, Penggiat Kebudayaan Lokal

Posted by Tapak Tilas Kebudayaan

Sebagai wujud pelestarian budaya lokal yang riil, lahirlah sebuah komunitas budaya yang beranggotakan pelajar sekolah mengengah. Komunitas ini bernama Bedhug. Komunitas ini mendapat respon positif dari kalangan pelajar. Terbukti dengan banyaknya aktifitas yang dilakukan.

Komunitas Bedhug

Komunitas ini bermula dari Departemen Pengembangan Bakat FORKAPIK Kudus yang prihatin melihat keadaan budaya lokal yang menjadi pendatang di rumahnya sendiri. Maka terbentuklah komunitas Teater FORKAPIK. Setelah selang beberapa waktu, komunitas ini berubah nama menjadi 9 Bintang. Setelah berjalan dengan nama baru tersebut, sang pengusul nama keluar dari keanggotaan komunitas. Akhirnya berubahlah nama tersebut menjadi Komunitas Bedhug yang diluncurkan pada Jumat,  28 Januari 2011. Nama inilah yang masyhur dan bertahan sampai sekarang.


Bedhug adalah komunitas seni yang sangat mengedepankan kekeluargaan dalam setiap aktifitasnya. Sebagaimana komunitas seni lain, Bedhug merupakan komunitas yang bebas. Yang dimaksud adalah kebebasan dalam berkarya. Semua karya seni lokal masuk, apapun. Yang penting sesuai dengan norma luhur yang sejak awal diusung Bedhug.

Kegiatan komunitas ini adalah berlatih teater, musik, seni rupa, seni tari dan kesenian lokal. Komunitas ini mengedepankan kelokalan budaya Kudus untuk digalakkan kembali. Dalam perkembangannya, Bedhug melebarkan sayap meliputi kebidayaan lokal Indonesia. Setiap Jumat siang, Bedhug rutin berlatih kesenian local di Taman Budaya Kudus Sosrokartono. Kegiatan Bedhug dilatih oleh Pembina, salah satunya Bang Ali Rege. “Kita ini keluarga. Sampai kapanpun kita tetap keluarga. Jangan sampai lupakan kita semua. Come on all rigth, Beb,” semangatnya pada tenggang latihan.

Harlah Kedua

Kamis, 31 Januari 2013—Komunitas ini memperingati hari lahirnya yang kedua di Taman Budaya Kudus Sosrokartono. Dalam memperingati hari lahir, Bedhug mengadakan Workshop Kesenian dan Pementasan Seni. Peringatan ini disambut tepuk tangan oleh anggota Bedhug. Terbukti dengan meriahnya peringatan Hari Lahir Komunitas Bedhug.

Dalam pementasan yang bertema “Membentuk Jiwa Kesenian pada Diri Kader NU” ini, Bedhug menyuguhkan kesenian dan kebudayaan lokal.. Dalam acara kolosal ini ditampilkan tari saman, pementasan naskah “Laron-Laron oleh Pri GS”. Kemudian ditampilkan Terbang Papat yang dibawakan dengan apik oleh Bedhug. Setelah itu suasana digemparkan dengan Musikalisasi Puisi oleh Bedhug . Aroma khas kebudayaan Jawa tercium kuat dari dalam Sosorokartono. Anak-anak Bedhug yang mengubah suasana Sosrokartono yang sepi menjadi meriah.

“Saya tantang kalian untuk mementaskan  naskah kolosal. Yang paling besar adalah naskah Pelacur dan Presiden. Berani kalian?” tantang Taufikurrahman, Ketua LESBUMI Kabupaten Kudus, dalam sambutannya. Tantangan ini diamini oleh Bedhug dengan penuh semangat. Beliau memberi waktu satu tahun dan menjanjikan pendanaan jika tantangan itu dijawab dengan megah oleh Bedhug. Di harlah keduanya, Bedhug berharap agar komunitas ini bisa terus bertahan dan berkembang di tengah gempuran budaya asing yang cenderung digemari anak muda sekarang.


Banyak sekali aktifitas positif yang dapat kita lakukan sebagai generasi muda bangsa untuk melestarikan budaya luhur kita sendiri. Salah satunya sebagaimana yang dilakukan oleh Komunitas Bedhug. Maka seyogyanya mari kita uir-uri dan lestarikan budaya kita dengan berbagai aktifitas positif.

Reporter             : Rouf
Narasumber      : M. Syaifun Nashir, Ketua Komunitas Bedhug
Selamat Datang!

Popular Post

- Copyright © 2013 Tapak Tilas Kebudayaan -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -