Archive for 2013

Regenerasi Semangat Ngaji

Selasa, 05 Februari 2013
Posted by Tapak Tilas Kebudayaan
Tag :
Rouf (kiri) saat serah terima hadiah dengan warga setempat


Wonosobo merupakan sebuah kabupaten yang terletak di Jawa Tengah. Kabupaten ini dipagari gunung-gunung yang mengapitnya. Peradabannya cukup ramai. Namun banyak daerah di sana yang masih tertinggal dan tak jarang terisolasi dari dunia luar. Maklum, banyak daerah terletak di pelosok dan lereng gunung. Di samping itu juga Kabupaten ini tidak begitu strategis dalam jalur transportasi. Walau demikian, banyak sekali sisi kebudayaan yang dikandungnya. Salah satu dari sekian banyak budayanya adalah budaya masyarakat untuk mengaji ilmu agama.

Demi kepentingan penelusuran budaya masyarakat pelosok dalam mengaji pengetahuan agama, penulis melakukan riset langsung di desa Gedeghan kecamatan Wonosobo kabupaten Wonosobo. Agar observasi yang penulis lakukan matang, penulis melakukannya selama 9 hari. Penulis diterima di rumah sederhana milik seorang tokoh, Bapak Bedjo.

Hasil Obesrvasi
Rouf (paling kiri) foto bersama anak-anak saat perpisahan
Masyarakat Gedeghan adalah masyarakat yang awam agama. Berbagai aliran keagamaan pernah masuk di sana. Hal ini dikarenakan minimya pengetahuan agama. Dalam sejarah desa, pernah terjadi ketegangan antar dua aliran agama. Masjid utama desa direbut oleh aliran yang berbeda dari keduanya. Akibatnya masyarakat sempat memanas. Karena mereka tidak punya wawasan memadai tentang agama, jadilah mereka di bawah kekuasaan aliran baru. Hal ini berlangsung bertahun-tahun. Hingga salah seorang anak desa bernama Taqwin merantau ke Kudus guna menimba ilmu. Setelah anak tersebut kembali lagi ke Wonosobo.

Keluar dari permasalahan tersebut, masyarakat Wonosobo itu pecinta ketenangan. Terbukti dengan gaya hidupnya yang tidak neko-neko. Kehidupan mereka sederhana. Mulai pagi mereka bekerja di ladang. Ketika mereka mendengar suara adzan Dzuhur, mereka akan kembali sejenak untuk beristirahat. Kemudian pekerjaan meladang akan mereka teruskan sampai mendengar adzan Ashar jam empat sore. Kehidupan mereka begitu sederhana.

Kesederhanaan hidup mereka membuat tradisi budaya mengakar kuat dalam nadi. Salah satu budaya yang mereka pegang kuat adalah semangat mengkaji ilmu agama. Walaupun mereka masih awam dalam beragama, namun ketika penulis mengajarkan beberapa pengetahuan dasar agama di sana, antusiasme mereka begitu kentara jelas. Semuanya ikut ngaji, anak, ibu, bapak sampai kakek dan nenek sangat antusias.

Kehidupan penulis selama bersama mereka sangat bersahaja. Hanya satu penghambat komunikasi kami. Yaitu perbedaan bahasa dan logat. Namun tak begitu masalah. Mereka dapat berkomunikasi dengan bahasa wajah.

Setiap sore hari bakda Ashar, anak-anak selalu ramai memenuhi musholla kecil yang digunakan penulis unutk mengajar. Kesempatan ini dimanfaatkan betul untuk menanamkan nilai dan moral luhur serta cita-cita mengangkasa dalam karakter anak. Dengan pendekatan cerita dan permainan yang mengasah otak, mengaji agama menjadi sangat meriah.

Bakda maghrib giliran ibu-ibu yang mengaji. Penulis memberikan beberapa dasar keagamaan. Antara lain tauhid dan fiqih. Semua penulis lakukan untuk menjunjung rasa solodaritas antar saudara sebangsa. Tak lupa penulis menambahkan, “Perbedaan dalam beragama itu biasa. Yang penting kita pegang teguh prinsip kita. Kemudian kita juga harus saling menghargai antar saudara sedarah.”

Benar, semangat ngaji tidak pernah luntur di sana. Walaupun mereka kelelahan akibat seharian berladang, tak mengecilkan api semangat mereka untuk berwawasan.

Reporter : Rouf
Narasumber : Warga desa Gedhegan Wonosobo

Berbenah Budaya

Posted by Tapak Tilas Kebudayaan
Tag :


Harap Cemas Menuju Budaya luhur
Semua hal yang sesuai dengan norma yang kita anut sepantasnya dipertahankan dan dilestarikan. Berbagai budaya luhur bertuan rumah di rumah kita, Indonesia. Namun, tidak semua budaya yang ada di rumah kita itu luhur. Budaya korupsi misalnya. Budaya ini begitu mengakar kuat selama bertahun-tahun dan membudaya dalam pola pikir masyarakat kita. Sudah seharusnya kita sebagai tuan rumah menjaga isi rumah kita sendiri. Salah satu penyebab membudayanya korupsi adalah ideologi ‘halus’ yang mengatakan “Alon-Alon Waton Kelakon”.

Pembahasan

Sekilas tak ada yang aneh dari pepatah itu. Benar, pepatah itu akan membawa manfaat jika penggunanya benar dalam melaksanakan dan menafsirkan. Jika sebaliknya, salah guna dan penafsiran, generasi bangsa terancam inflasi moral. Dengan kalimat lain, pepatah yang mendarah daging dalam tradisi kita itu berbahaya jika salah dalam penggunaan. Seperti, energi nuklir yang mampu menjadi energi besar alternatif jika mampu memanfaatkan. Atau, justru menjadi bom yang sangat ditakuti manusia.

Kesalahgunaannya adalah pada peletakannya. Yaitu yang seharusnya pepatah itu digunakan untuk target jangka panjang. Tapi, karena kombinasi dengan watak orang Indonesia yang tidak sabaran, maka peletakannya tidak pada target jangka panjang melainkan target jangka pendek. Contohnya kesuksesan masa depan adalah suatu target jangka panjang berpuluh-puluh tahun mendatang dengan berbagai perjuangan yang tidak mudah. Perjuangan waktu, masa muda, berdaya pikir, mematahkan tulang dan berkeringat darah. Jika melalui serangkaian proses yang benar dengan waktu yang lama, maka alon-alon waton kelakon pelan-pelan pasti tercapai.

Ujian nasional yang akan dihadapi seorang pelajar harus membutuhkan waktu tiga tahun, keseriusan belajar tiap semester, pola pembagian waktu yang seimbang, bimbingan yang benar, demokratis dalam belajar dan berdoa. Tapi semua proses yang seorang pelajar jalani selama tiga tahun, seolah diungkrat menjadi satu semester saja di tahun ketiga.

Fakta membuktikan demikian. Menjelang ujian nasional akan banyak terjadi pemadatan materi UN yang seolah mengabaikan pelajaran lainnya dan menganggapnya tidak penting. Pelajar yang tidak siap dengan target jangka panjangnya akan mengambil tindakan jangka pendek. Yaitu coba mencari bocoran kunci jawaban dan bertindak curang.

Fakta lain di Indonesia yang didalamnya banyak kemiskinan, masyarakat yang frustasi dengan kemiskinan akan mengambil langkah pendek dengan tindak kecurangan dan kriminal. Seorang pedagang akan bertindak curang dengan mengusahakan modal seirit-iritnya dan untung sebanyak-banyaknya. Karena itu banyak dijumpai produk pengawet yang berbahaya, pewarna tekstil yang tidak tawar dengan kesehatan maupun barang berkualitas jelek bahkan basi dipoles sedemikian rupa sehingga menjadi barang yang terlihat berkualitas tinggi.

Kelanjutannya, kemiskinan masyarakat tidak cukup diatasi hanya satu-dua tahun. Dibutuhkan rencana yang matang pelaksanaan demokratis jangka waktu yang lama dan evaluasi. Tidak bisa disamakan antara jangka panjang dan target jangka pendek.

Pembelokan budaya oleh oknum tidak bertanggungjawab
Fatalnya, pemilu di Indonesia yang diharapkan banyak kalangan sebagai titik awal perubahan bangsa ke arah kongkrit yang lebih maju, ternodai dengan ulah sebagian oknum yang tak bertanggung jawab. Sebagian oknum memanfaatkan kondisi masyarakat Indonesia untuk mencapai tujuannya. Kondisi masyarakat yang lelah dengan ketidakmakmuran dan frustasi dengan kemiskinan serta rindu kesejahteraan membuat sebagian masyarakat mengambil cara pintas, sesaat dan pendek. Yaitu, menerima uang sogokan dengan imbalan suara yang diberikan kepada oknum penyogok. Padahal dampak jangka panjangnya lebih buruk. Sekali lagi, target jangka panjang tidak bisa disamakan dengan target jangka pendek.

Ketidaksabaran, frustasi dan tekanan membuat banyak kalangan mengambil jalan pintas. Cara yang pada klimaksnya berdampak panjang terhadap harapan majemuk masyarakat. Butuh waktu, perjuangan dan doa untuk meneguk indahnya masa depan. Jadi, sudah seyogyanya kita yang dikaruniai akal untuk bisa berpikir jernih dan berjangka panjang. Sudah sewajibnya kita menjaga diri dari apapun yang kelak merugikan bagi diri sendiri dan lingkungan. Sebenarnya manusia mampu berpikir dan bertindak bijaksana, hanya terkadang keadaan yang menekan menjadikan kebijaksanaan itu tidak terwujud.

Remusikalisasi Rebana

Posted by Tapak Tilas Kebudayaan
Tag :

Meriah, salah satu grup rebana isi acara
Rebana atau dalam bahasa aslinya “Hadroh” merupakan alat musik Islami yang sering dimainkan mengiringi shalawat. Budaya memainkan alat musik ini dimulai dari sahabat Anshar. Kala itu, mereka memainkan rebana untuk menyambut Nabi yang baru tiba di Madinah dalam perjalanan hijrah beliau. Suka cita para sahabat mereka ekspresikan dalam bait shalawat badar dengan iringan rebana. Sejak saat itu rebana masyhur di kalangan muslimin sampai sekarang. Musik ini berkembang dan meluas ke daerah Islam dan sampai di Indonesia.

Walau rebana bukan berasal dari Indonesia, namun permainannya sudah mentradisi sejak dahulu dan susah dihilangkan. Karenanya musik ini terus berkembang sampai sekarang. Dewasa ini muncul banyak grup rebana di berbagai daerah. Ini salah satu dampak positif di bidang musik Indonesia.

Bahan dasar pembuatan rebana adalah kulit dan kayu jati. Kayu dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat dimainkan. Bagian depan ditutup kulit. Kulit inilah yang menghasilkan bunyi ketika rebana diketuk. Dalam perkembangannya, bentuk rebana semakin beragam. Ada yang kecil, sedang maupun besar. Bahan pembuatannya sudah bukan kulit saja, bahan mika sudah mulai digunakan.

Macam-Macam Rebana

Di Indonesia, rebana berakulturasi dengan budaya lokal. Dari hasil akulturasi inilah muncul berbagai jenis permainan rebana. Ada terbang papat, zipin, rebana modern dan rebana hadroh.

1.       Terbang papat berkembang di Jawa. Terbang jenis ini tidak jauh beda dari terbang jenis lain. Baik cara memainkan dan menggunakannya. Yang menjadikan khas terbang ini adalah genjring yang ada pada terbang disumpal sehingga suaranya cemplang. Terbang papat biasa dimainkan tanpa vokalis utama. Lazimnya para penabuh terbanglah yang memukul terbang sambil bershalawat. Akibatnya suasana makin riuh. Khajatan, sunatan, mauludan dan acara-acara keagamaan di desa kerap menampilkan terbang papat.

2.       Rebana zipin dan rebana modern hampir sama. Keduanya memiliki irama dangdut khas Indonesia. Yang membedakan hanya penambahan alat musik modern seperti keyboard untuk rebana modern. Rebana zipin dan modern bisa dijumpai hampir di semua kaset rebana yang beredar luas.

3.       Rebana hadroh merupakan yang paling digemari saat ini. Khususnya di wilayah Karesidenan Pati. Hal ini disebabkan karena banyaknya grup rebana hadroh yang bermunculan. Selain itu, event keagamaan dan lomba turut memberikan sumbangsih pada majunya rebana hadroh.

Rebana hardoh memiliki irama yang lebih enerjik dibanding rebana lain. Jenis ini juga mudah dipadukan dengan berbagai aransemen lagu modern seperti pop. Itulah yang menyebabkan kreatifitas para pemainnya tak hentinya berkembang.

Sekitar lima tahun yang lalu rebana ini pernah heboh dan buming di masyarakat. Beliau Habib Syeh bin Abdul Qadir as-Segaf dan grup rebana Ahbabul Musthofa yang meluaskan persebaran rebana hadroh. Bahkan rebana ini pernah terdengar sampai di istana saat pernikahan putra Presiden Republik Indonesia dengan putri Hatta Rajasa. Namun dewasa ini, demam Ahbabul Musthofa sudah mereda.

Mulai tahun dua ribu sepuluhan grup rebana usia pelajar mulai berkembang hingga sekarang. Hal ini tak lepas dari berbagai ajang yang menggelar rebana kaum pelajar. Didukung dengan kreatifitas keremajaan mereka, aransemen rebana hadroh semakin berfariasi dan unik. Rebana inilah yang banyak terdengar di banyak acara keagamaan sekarang ini.

Rebana merupakan budaya luhur yang selayaknya kita jaga dan lestarikan. Di samping banyaknya nilai pahala dalam rebana yang diiringi shalawat, permainan musik ini juga sebagai bukti kekayaan budaya lokal bangsa kita. Jadi, buatlah Indenesia bangga sebagai tuan rumah bermacam-macam budaya luhur.

Meneropong Tradisi Buka Luwur

Posted by Tapak Tilas Kebudayaan
Tag :


Berdesakan, warga berebut brekat umum
Sudah tak asing lagi bagi masyarakat Kudus mengenai acara Buka Luwur Sunan Kudus. Acara ini dilaksanakan setiap tanggal 10 Muharamm atau 10 Syuro tahun Hijriyyah. Sebagian masyarakat mengangap bahwa upacara Buka Luwur merupakan upacara peringatan hari wafat atau haul beliau Kanjeng Sunan Kudus. Namun anggapan mereka keliru. Mengenai hari dan tanggal wafatnya Sunan Kudus sampai sekarang tidak diketahui. Jadi upacara Buka Luwur tidak untuk mengahauli Sunan Kudus. Hanya saja untuk memperingati hari wafat beliau, pengurus memperingatinya bertepatan hari besar Islam, 10 Muharram.

Buka Luwur secara etimologi berarti membuka kain kafan. Sedangkan secara terminologi Buka Luwur adalah serangkaian upacara untuk memperingati wafatnya Sunan Kudus yang dilaksanakan pada tanggal 10 Muharam. Pada area sentral makam Sunan Kudus terdapat kain putih yang menghiasi  dinding makam dan langit-langit. Kain putih itu disebut luwur oleh warga sekitar. Luwur akan diganti dengan kain yang baru melalui prosesi Buka Luwur yang sengaja dibarengkan dengan peringatan 10 Muharam setiap tahunnya. 

Suasana Dapur Buka luwur
Menyoal tentang diadakannya pada tanggal 10 Muharam, sebab hari tersebut merupakan hari besar umat Islam. Pada hari itu Nabi Yunus keluar dari perut ikan paus. Nabi Yusuf keluar dari sumur ketika dibuang oleh saudara-saudaranya. Nabi Adam bertemu dengan Hawa di  Jabal Rahmah pada hari itu. Hari itu banjir bandang pada masa Nabi Nuh surut. Nabi Ibrahim selamat ketika di bakar Raja Namrud. Nabi Musa selamat dari kejaran Raja Firaun dan pasukannya. Nabi Ayub sembuh dari penyakit menahun yang dideritanya. Pada hari itulah hari kemenangan Nabi-Nabi Allah atas musuhnya. Sebab itu peringatan wafatrnya Sunan Kudus yang tidak diketahui diperingati pada tanggal 10 Muharam.

Secara kronologis sebenarnya proses upacara Buka Luwur diawalai dengan Jamas Pusaka. Preosesi ini merupakan  penyucian pusaka berupa keris yang diyakini milik Sunan Kudus dan pusaka lain peninggalan  beliau. Acara tersebut dilaksanakan pada hari Kamis Wage tanggal 10 Dzulhijjah 1433 H pukul tujuh pagi.

Tepat tanggal 1 Muharam 1434 H pada pukul  setengah  enam pagi diadakan  pelepasan Luwur dari area makam sentral. Luwur merupakan sejenis kelambu atau kain putih yang digunakan untuk menutupi makam daripada Sunan Kudus. Serta untuk menghiasi dinding dan langit-langit di sekeliling kompleks makam, Luwur. Karena Luwur tersebut telah menjadi bagian dari makan Sunan Kudus, tak ayal Luwur itu diperebutkan masyarakat yang ingin mendapatkan berkah.

Agenda selanjutnya yakni Munadharah Masail Diniyah yang diselenggarakan pada hari Ahad Legi tanggal 4 Muharam pukul setengah sembilan pagi. Kemudian malam harinya diadakan Doa Rasul dan Terbang Papat sebagai wujud kecintaan pada Rasulullah SAW. Pagi hari setelah shalat Shubuh dilangsungkan Khatmil Quran bil Ghaib yang dilanjutkan dengan Santunan Anak Yatim pukul delapan pagi. Pada jam yang sama, berlangsung juga acara pembagian bubur Asyura. Pembagian bubur ini diadakan setiap tahun untuk meneruskan tradisi Nabi Nuh. 

Bubur Nabi Nuh

Dahulu kala, pengikut Nabi Nuh yang setia melaksanakan perintah nabinya dengan mengikuti beliau naik kapal. Kala itu Nabi Nuh dan umatnya diterpa banjir bandang. Kemudian surutlah banjir bandang yang menerpa bumi. Di kapal tersebut masih tersisa beberapa makanan. Kemudian setelah banjir surut, oleh Nabi Nuh makanan itu dijadikan bubur dan dimakan bersama sebagai wujud syukur. Peristiwa inilah yang mendasari diteruskannya pembagian Bubur Asyura untuk mengenang peristiwa besar tersebut. “Agar umat Islam itu mengingat sejarahnya, berasal dari manusia kapal,” tutur KH. Sya’roni Ahmadi.


Tanggal 10 Muharam pukul setengah delapan malam diadakan Pengajian Umum yang dihadiri ulama Kabupaten Kudus dan Habib Umar Al-Muthahar. Dengan diadakannya pengajian ini diharapkan masyarakat bisa mengenal dan mengambil suri tauladan dari Sunan Kudus yang mewarisi akhlak Nabi. “Dengan segini banyaknya peziaraah yang berkunjung ke makam beliau, sudah tentu beliau adalah orang yang hebat. Kita tidak pernah bertemu beliau, tapi kita cinta beliau. Kita tidak pernah bertemu beliau, tapi kita terbayang wajahnya, kita terbayang akhlaknya, kepribadiannya dan bertemu dengannya,” tutur Habib Umar dalam Mauidhahnya.

Pembagian berkat umum dilaksanakan seusai shalat shubuh. Acara yang dinanti-nanti ini menyedot antusias warga, pria-wanita, tua-muda, luar kota-dalam kota, semuanya tumpah ruah dan tumplek blek ikut berebut nasi brekat. Masyarakat harus bersusah payah dan berdesak-desakan untuk mendapat jatah. “Saya senang dan puas mendapat nasi brekat ini. Saya sampai tidur di Masjid Menara tadi malam agar bisa antre pagi-pagi supaya tidak kehabisan,” tutur seorang warga yang ikut berdesak-desakan.

Buka Luwur berlangsung secara kronologis dan berjalan turun-temurun dari generasi ke generasi. Peringatan Buka Luwur mempunyai nilai yang tinggi untuk meneladani perjuangan para Wali khususnya Sunan Kudus, beliau Syekh Ja’far Shadiq.



Reporter: Rouf
Sumber: 1. Panitia Buku Luwur
              2.  Masyarakat  sekitar    

Rekam Jejak Kerajaan Surakarta

Posted by Tapak Tilas Kebudayaan
Tag :


Serius, penulis berwawancara dengan narasumber
Surakarta merupakan salah satu ikon budaya Indonesia. Di dalamnya mudah dijumpai budaya Jawa. Mulai dari hasil sosial kemasyarakatan, seni bangunan, bahasa, pola hidup hingga kuliner. Budaya sangat Nampak sekali di sini. Hal ini dapat dilihat dari seni bangunan, kemasyarakatan, kuliner dan bahasanya. Yang sangat mencolok adalah seni bangunan dan bahasa Jawa kental yang mereka gunakan. Seni batik yang menghiasi sepanjang jalan menambah sedap rasa budaya Jawa.

Untuk menulusuri tentang salah satu ikon budaya Indonesia ini, penulis melakukan interview langsung di Keraton Surakarta dan Masjid Agung Surakarta. Hasil penelusuran penulis terangkum dalam dialog tanya jawab berikut ini.

1. Tujuan saya kemari adalah ke Solo. Setelah sampai di sini, yang saya lihat di papan-papan instansi adalah Surakarta, bukan Solo. Memang beda antara Solo dengan Surakarta? Bedanya apa?

Solo dengan Surakarta itu beda.  Surakarta dahulu merupakan kerajaan bernama Kartasura. Kemudian Kartasura dipindah ke sebuah desa yang bernama Solo (seperti baca Colo, Kudus). Sejak itulah Kerajaan Kartasura berubah nama menjadi Kerajaan Surakarta Hadiningrat. Jadi itu bedanya. 
Sampai sekarang Surakarta masih lestari. Terbukti dengan adanya Raja dan keluarga ndalem yang sah. Keraton Surakarta diakui oleh RI. Yang resmi diakui RI itu Surakarta, bukan Solo.

2. Ini yang menarik. Ri menganut demokrasi. Sedangkan Keraton Surakarta menganut sistem kerajaan. Di mana titik temu antar keduanya dan kedaulatan mana yang diakui?

Setelah kemerdekaan RI, Surakarta menggabungkan diri di bawah RI. Jadi RI yang mutlak berdaulat. Yang jadi kejanggalan sekarang adalah fungsi dari kerajaan Surakarta itu apa. Bagini saya luruskan. Semenjak itu Surakarta tetaplah Surakarta. Hanya saja fungsinya yang berubah. Kerajaan dan Keraton Surakarta masih ada itu untuk menjaga kebudayaan local Indonesia agar tidak punah. Sampai sekarang di dalam Keraton masih ada Raja yang sah. Coba kalau tidak ada Raja, kebudayaan kita pasti punah. Paling-paling keratin hanya jadi museum kalau tidak ada Raja. Tanpanya, Surakarta hanyalah sejarah. Jadi fungsi keberadaan Keraton dan Kerajaan Surakarta adalah sebagai pelestari budaya. RI juga menyetujui akan hal ini.

Rouf (Kiri) Berpose dengan patung penjaga Keraton Surakarta

3. Lalu bagaimana peran Walikota kalau ada Raja?

Kita harus tahu perbedaan antara keduanya. Memang keduanya sama- sama berpengaruh. Namun cakupan pengaruhnya yang beda. Tugas dan fubgsi walikota di sini adalah sebagaimana Walikota wajarnya. Sedangkan Raja berfungsi menjaga kelestarian budaya agar Kerajaan Surakarta ada penerus dan tidak punah. Raja juga bertugas memimpin para budayawan.

4. Di beberapa sudut Keraton saya jumpai dupa-dupa dan bunga-bunga. Adakah semacam aliran Kejawen di sini?

Itu salah pengertian. Dupa dan bunga-bungaan itu hanya sebagai penyakral dan pengahrum ruangan. Bukan sebagai sarana memuja roh halus. 
Kita sebagai manusia selalu dianjurkan untuk sembahyang dan berdoa. Dalam sembahyang dan doa itu kita berusaha sebisa mungkin untuk khusuk. Untuk inilah gunanya dupa dan bunga. Dengan ini suasana ruangan lebih tenang. Kami sengaja mendekorasi Keraton seperti ini agar kekhusukan di Keraton tetap ada. Salah satu sarananya adalah dupa dengan aroma sakralnya dan bunga dengan harumnya. Jadi jangan salah langkah dalam menyikapi perkara yang belum diketahui kejelasannya.semua hal harus kita nilai dengan objektif.

5. Saya tertarik membahas finansial.  Kalau boleh tahu gaji ibu sebagai Abdi Dalem itu berapa?

Pokoknya cukup untuk memnuhi kebutuhan primer dan sekunder. Walau dengan upah seadanya, kami bisa menghidupi keluarga dengannya. Ndelalah ada saja rezeki yang datang. Ndelalah itu tidak masuk rumus matematika.
Kita menjadi Abdi Dalem itu tanpa formalitas danm paksaan. Yang dibutuhkan menjadi Abdi Dalem adalah kesukarelaan dan dorongan untuk melestarikan budaya. Jadi kami ini bisa disebut budayawan. Intinya, harus ada gugahan hati.

6. Yang terakhir, apa pesan ibu untuk pemuda Indonesia yang tengah digempur produk Korea dan barat?

Banggalah pada Indonesia, lalu pada saat yang sama cintailah ia sebagaimana mencintai diri kita. Dengan demikian dimanapun kita tidak akan krisis jati diri dan identitas. Karena jati diri dan identitas kita adalah Indonesia. Walau kita berbeda budaya, bahasa, adat, identitas dan agama. Kita telah dipersatukan Indonesia. Banggalah!

Reporter : Rouf
Narasumber : 
- Ibu Lastri, Pelestari Budaya dan Abdi Dalem Keraton Surakarta
- Pengurus Masjid Agung Surakarta






Menakar Rupiah Sebutan Budaya

Posted by Tapak Tilas Kebudayaan
Tag :

Semua sisi kehidupan tak bisa luput dari kaca mata ekonomi. Mulai dari sosial, agama, kenegaraan, organisasi, peradaban dan budaya. Lensa ekonomi sering digunakan untuk menilai segala hal. Termasuk untuk menakar kebudayaan.

Sangat banyak budaya yang dimiliki negara kita. Mulai dari yang terjepret kamera maupun tidak. Budaya kita tersebar di berbagai pelosok. Missal saja budaya kita yang berada di Bali.

Bali adalah pulau super power dengan banyak pesona pemandangan yang menarik. Setiap tahun banyak sekali wisatawan asing maupun lokal yang bersenang ria menikmati pulau super power itu. Dari banyaknya pelancong yang berwisata di sana melonjakan jumlah pemasukan negara. Dari Bali saja, kita dapat menakar berapa rupiah yang dihasilkan dari kebudayaan. Belum budaya lain yang kita miliki di berbagai pelosok negara kita.

Fakta lain berkata bahwa Jogjakarta adalah kota yang banyak menyedot perhatian wisatawan karena keberagaman budayanya. Kota ini menjadi sentra wisata Jawa Tengah selain Surakarta. Tidak dapat dipungkiri, kemajuan Jogjakarta ditopang ekonomi masyarakat yang kuat dari hasil pariwisata.

Dua objek tersebut cukup menggambarkan secara umum bagaimana pundi-pundi rupiah yang menganak dari pariwisata. Hal ini mengakibatkan pemerintah gencar mempromosikan bermacam-macam objek wisata. Satu hal yang sangat menarik di Indonesia yang tidak dimiliki negara lain. Yaitu keberagaman budayanya yang mampu menyedot banyak wisatawan yang berkunjung ke Indonesia. Selain menikmati keindahan alam kita, hal terpenting yang pelancong cari adalah keunikan budaya yang kita punya.

Daya tarik yang paling kita unggulkan adalah banyaknya budaya kita. Tak heran berdatangan berbagai studi yang mengkaji budaya kita. Mulai dari orang Eropa, China, Jepang maupun tetangga sebelah. Hanya terkadang, kita sendiri yang kurang pandai mengelola kekayaan runah kita.

Dengan tata olah budaya yang baik dan benar akan membawa kita menjadi bangsa yang bangga akan budaya sendiri, di samping nilai rupiah yang menggiurkan di dalamnya. Jadi, keluhuran dan keberagaman budaya adalah identitas kita yang membuat kita bangga disebut sebagai bangsa yang berbudaya.

Bedhug, Penggiat Kebudayaan Lokal

Posted by Tapak Tilas Kebudayaan

Sebagai wujud pelestarian budaya lokal yang riil, lahirlah sebuah komunitas budaya yang beranggotakan pelajar sekolah mengengah. Komunitas ini bernama Bedhug. Komunitas ini mendapat respon positif dari kalangan pelajar. Terbukti dengan banyaknya aktifitas yang dilakukan.

Komunitas Bedhug

Komunitas ini bermula dari Departemen Pengembangan Bakat FORKAPIK Kudus yang prihatin melihat keadaan budaya lokal yang menjadi pendatang di rumahnya sendiri. Maka terbentuklah komunitas Teater FORKAPIK. Setelah selang beberapa waktu, komunitas ini berubah nama menjadi 9 Bintang. Setelah berjalan dengan nama baru tersebut, sang pengusul nama keluar dari keanggotaan komunitas. Akhirnya berubahlah nama tersebut menjadi Komunitas Bedhug yang diluncurkan pada Jumat,  28 Januari 2011. Nama inilah yang masyhur dan bertahan sampai sekarang.


Bedhug adalah komunitas seni yang sangat mengedepankan kekeluargaan dalam setiap aktifitasnya. Sebagaimana komunitas seni lain, Bedhug merupakan komunitas yang bebas. Yang dimaksud adalah kebebasan dalam berkarya. Semua karya seni lokal masuk, apapun. Yang penting sesuai dengan norma luhur yang sejak awal diusung Bedhug.

Kegiatan komunitas ini adalah berlatih teater, musik, seni rupa, seni tari dan kesenian lokal. Komunitas ini mengedepankan kelokalan budaya Kudus untuk digalakkan kembali. Dalam perkembangannya, Bedhug melebarkan sayap meliputi kebidayaan lokal Indonesia. Setiap Jumat siang, Bedhug rutin berlatih kesenian local di Taman Budaya Kudus Sosrokartono. Kegiatan Bedhug dilatih oleh Pembina, salah satunya Bang Ali Rege. “Kita ini keluarga. Sampai kapanpun kita tetap keluarga. Jangan sampai lupakan kita semua. Come on all rigth, Beb,” semangatnya pada tenggang latihan.

Harlah Kedua

Kamis, 31 Januari 2013—Komunitas ini memperingati hari lahirnya yang kedua di Taman Budaya Kudus Sosrokartono. Dalam memperingati hari lahir, Bedhug mengadakan Workshop Kesenian dan Pementasan Seni. Peringatan ini disambut tepuk tangan oleh anggota Bedhug. Terbukti dengan meriahnya peringatan Hari Lahir Komunitas Bedhug.

Dalam pementasan yang bertema “Membentuk Jiwa Kesenian pada Diri Kader NU” ini, Bedhug menyuguhkan kesenian dan kebudayaan lokal.. Dalam acara kolosal ini ditampilkan tari saman, pementasan naskah “Laron-Laron oleh Pri GS”. Kemudian ditampilkan Terbang Papat yang dibawakan dengan apik oleh Bedhug. Setelah itu suasana digemparkan dengan Musikalisasi Puisi oleh Bedhug . Aroma khas kebudayaan Jawa tercium kuat dari dalam Sosorokartono. Anak-anak Bedhug yang mengubah suasana Sosrokartono yang sepi menjadi meriah.

“Saya tantang kalian untuk mementaskan  naskah kolosal. Yang paling besar adalah naskah Pelacur dan Presiden. Berani kalian?” tantang Taufikurrahman, Ketua LESBUMI Kabupaten Kudus, dalam sambutannya. Tantangan ini diamini oleh Bedhug dengan penuh semangat. Beliau memberi waktu satu tahun dan menjanjikan pendanaan jika tantangan itu dijawab dengan megah oleh Bedhug. Di harlah keduanya, Bedhug berharap agar komunitas ini bisa terus bertahan dan berkembang di tengah gempuran budaya asing yang cenderung digemari anak muda sekarang.


Banyak sekali aktifitas positif yang dapat kita lakukan sebagai generasi muda bangsa untuk melestarikan budaya luhur kita sendiri. Salah satunya sebagaimana yang dilakukan oleh Komunitas Bedhug. Maka seyogyanya mari kita uir-uri dan lestarikan budaya kita dengan berbagai aktifitas positif.

Reporter             : Rouf
Narasumber      : M. Syaifun Nashir, Ketua Komunitas Bedhug

Membaca Bilik Budaya

Senin, 04 Februari 2013
Posted by Tapak Tilas Kebudayaan
Tag :


Mengenal Kebudayaan

Budaya menurut pakar dapat diartikan sebagai segala hal yang terlahir dari rasa, karsa dan cipta manusia. Menilik pengertian tersebut, budaya memiliki arti luas. Budaya mencakup apapun yang berkaitan dengan peradaban manusia. Budaya sangat dibutuhkan bagi kelangsungan peradaban manusia. Dengan budaya khas yang beraneka ragam dan keistimewaannya, kelangsungan hidup manusia lebih berwarna.

Budaya tidak mungkin ditiadakan dari hidup manusia. Sejarah buktinya. Jauh sebelum zaman sejarah yang tiada mengerti bahasa tulis, budaya sudah ada. Manusia menggunakan barang sekitar untuk mempermudah pekerjaan. Misalnya manusia menggunakan batu untuk berburu. Mereka juga menggunakan kayu, tulang serta logam. Mulailah ada pengelompokan budaya berdasar alat yang menusia gunakan.

Sampai kapanpun budaya tidak henti berkembang. Pun sampai abad kontemporer saat ini, tumbuh berkembang budaya baru dan pelestarian budaya nenek moyang. Indonesia mengalami pembabakan budaya. Salah satunya dari sisi kepercayaan. Dahulu, orang Indonesia mempercayai ada kekuatan dahsyat di alam yang menjaga sebuah keteraturan. Babak ini masyhur disebut kepercayaan animisme dan dinamisme. Setelah itu masuklah ajaran Hindu memodernisasi paham kepercayaan mereka akan animisme dan dinamisme. Kemudian masuk Budha sebagai refresh paham sebelumnya. Masa ini berlangsung sangat lama. Hingga Islam masuk disusul Kristen. Ini menunjukkan bahwa budaya tidak akan henti berkembang selama masih ada kehidupan.

Budaya tidak bisa tidak harus lestari agar peradaban juga lestari. Karena budaya adalah nafas peradaban. Bahkan sejatinya budaya adalah peradaban itu sendiri. Tanpa budaya, tiada peradaban. Senyum merupakan hasil rasa manusia, namakanlah budaya. Coba saja kalau dunia tidak ada budaya untuk tersenyum. Langsunglah suram dunia. Ketika kita bertemu orang di jalan atau di taman kota, lalu orang yang kita temui memasang wajah datar dan lempeng, rasanya sangat buruk. Pasti suram yang kita rasakan kalau budaya senyum itu tidak ada. Itu baru senyum. Belum lagi budaya lain yang melekat dengan darah menusia. Seperti agama, sistem kemasyarakatan, ideologi, bahasa, busana, kuliner serta pendidikan.

Menghidupkan budaya sama saja menghidupkan peradaban. Jadi, hidup dan lestarikanlah budaya luhur yang membuat wajah kita tersenyum. Lalu jadilah orang yang berbudaya luhur dan ikut mewarnai dunia. Bukan “terwarnai” oleh dunia.

Menolak Budaya Hedonisme

Posted by Tapak Tilas Kebudayaan
Tag :

Segala budaya luhur yang beratap Indonesia wajib kita lindungi, harga mati. Yang harus kita lakukan adalah melestarikan dan melindunginya dari segala gangguan, dari dalam maupun dari luar. Salah satu gangguan kebudayaan lokal dari luar adalah masuknya berbagai paham yang berseberangan dengan norma luhur yang kita anut. Misal saja hedonisme. Semua elemen penting bangsa harus ikut membentengi budayanya sendiri. Khususnya kita, generasi penerus bangsa yang bukan generasi copy-paste.

Kalangan yang paling rentan terkena budaya hedonism adalah remaja. Dikarenakan pada fase ini anak cenderung menganut dan meniru segala yang ada di lingkungannya. Dengan pesatnya arus informasi, trak sulit bagi para perusak budaya untuk menyelipkan “racun” di dalamnya. Oleh karena itu kita harus siap untuk menangkal datangnya “racun-racun” itu, khususnya para remaja.

Pengertian

Hedonisme merupakan ajaran atau budaya yang memandang bahwa kesenangan dan kenikmatan merupakan tujuan hidup manusia. Budaya ini menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari perasaan yang menyakitkan.

Pelajar bangku sekolah misalnya. Mereka lebih senang bolos jika dirasa pelajaran memberatkan. Mereka asyik memainkan dorongan seksual dari mulai berpacaran sampai hubungan seksual di luar nikah. Parahnya, agama yang dianggap sebagai pengekang sudah mulai ditinggalkan. Pengamatan sederhana tersebut cukup untuk menggambarkan bahwa budaya Hedonisme sudah mulai ditiru remaja kita.

Remaja cenderung mengukur segala hal dengan lensa kesenangan. Yang tidak mengandung kesenangan, ditinggalkan. Remaja cenderung menghamburkan uang untuk kesenangan sesaat dan jangka pendek. Suka nonton, shoping, konsumeris, bergaya hidup mewah dan berpola pikir individualis. Fakta yang ada cukup memperkuat anggapan bahwa remaja kita demam Hedonisme. Ini adalah langkah awal menuju bangsa yang suram tak bermasa depan yang cerah.

Solusi

Semua solusi efektif harus mengena pada inti permasalahan. Dalam kasus ini, inti masalah adalah gaya hidup dan pola pikir. Mencoba prihatin pada lingkungan yang miris dapat kita lakukan dalam bentuk membelanjakan uang untuk kebutuhan primer dan sekunder, menabung, tidak terlalu fanatik dan meluaskan wawasan tentang budaya luhur yang menarik di Indonesia. Kemudian menyibukkan diri dalam kegiatan atau komunitas yang banyak manfaat. Pramuka, KIR, Komunitas Penulis, Komunitas Budaya, PMR, Pecinta Alam, Klub Olahraga dan banyak kegiatan lain yang menyibukkan diri dengan pengalaman yang banyak manfaat.

Memang, masalah yang menguji bangsa tak akan pernah berhenti. Selalu akan ada masalah. Karena itulah kita redakan masalah satu per satu. Bagi kita,  mulai dari yang kecil, mulai dari diri sendiri. Karena suatu yang kecil ini suatu saat akan berharga dan urgen. Pepatah mengatakan, «Akibat satu paku terlepas, sepatu kuda ikut terlepas. Akibat sepatu kuda terlepas, kuda tidak bisa berlari mengantar pesan. Akibat pesan tidak sampai, kalah dalam perang». 

Beberapa Cara Belajar

Posted by Tapak Tilas Kebudayaan
Tag :

Halo sobat kreatif, penulis menyuguhkan survey di blog tercinta ini. Penulis telah mengadakan survey mengenai hal cara favorit belajar anak TBS. Penulis yang terjun langsung ke TKP telah berhasil menghimpun suara sebanyak  40 siswa, dari mulai kelas X A sampai X J.
Hasil yang fantastik telah diraih, dengan perolehan 40% (16 siswa) dari keseluruhan suara  yaitu opsi “Membaca”. Ternyata Membaca begitu melekat di dalam diri anak-anak TBS, baik membaca novel, komik atau koran.
Tentunya anak TBS senantiasa menggunakan cara Membaca untuk kegiatan belajarnya. “Karena membaca buku itu adalah jendela ilmu, banyak yang kita dapatkan dari membaca ,” gagas Afif X A. Pendapat itu langsung diacungi jempol oleh rekan sehidup dan sematinya, Imam Turmuzdi, “Mungkin jika kita sedang tertarik pada buku, kita membacanya dan membaca lagi adalah hal yang sangat unik bagiku”.
Di posisi runner-up dengan perolehan 25% (10 siswa). Menunjukkan bahwa anak TBS menyukai “Menulis”. “Ehm ehm…… karena dengan menulis otak kita bekerja untuk menghafal dan ketika menulis kita pasti terlebih dahulu membaca sebelum menulis,” tutur siswa yang super sibuk, Muhaimin. Komentar tersebut mendapatkan tepuk tangan dari  tetangga kelasnya, M. Irsyad kelas X G, “Dengan menulis otomatis kita mendapatkan semuanya, dimulai dari olahraga, mengasah otak, bermain, dan lain-lain jadi belajar dengan cara menulis mungkin paling efektif buat saya”.
Sementara itu opsi “Mendengarkan” dipilih 20% (8 siswa). “Saat saya khususnya belajar bahasa Inggris, atau bahasa apapun itu lebih efektif dengan mendengarkan. Karena dengan mendengarkan akan cepat dan mudah dihafalkan serta mudah diingat. Apalagi yang pecinta musik, kita juga bisa belajar banyak dari musik,” ceramah Ibnu Athaillah X I. Ceramah tersebut langsung dengan segera diamini oleh rekan kerjanya Faisal Najib siswa X B “Emm dengan mendengarkan akan mudah terserap dalam otak kita, karena dengan cara itu akan lebih nyaman dan mudah bagi saya untuk belajar ”.
Di posisi pamungkas, opsi “Lain-lain” telah menggenapkan prosentase survey penulis menjadi 100%. Haza Ula mengaku bahwa “Ketiga itu sangat perlu tapi jika ketiga itu tidak tercium rasa konsentrasi, nyaman, dan giat belajar akan percuma saja dan tak ada gunanya, butuh suasana tenang dan tubuh yang rileks agar tercipt proses belajar yang jempol dan menyenangkan, menurutku begitu”.
Jadi membaca, menulis, dan mendengarkan sangat penting untuk proses belajar. Ketenangan tubuh juga diperlukan untuk belajar yang maksimal. Itulah kicauan yang telah dikeluarkan ‘burung-burung’ madrasah. Semua itu tergantung pada diri kita. Apa yang diucapkan hati kecil adalah hal yang terbaik untuk kita. Sekian dari kami sampai jumpa di postingan selanjutnya.

Harus Sengsara

Posted by Tapak Tilas Kebudayaan
Tag :

Jika ada kata seramah surga
Akan kuutarakan padamu sahabat
Kureka dimensi keempatmu
Sayangnya tiada mata setajam tuhan

Maaf
Tak terlihat apa yang kau misterikan
Tak juga dengan mata bulanku
Bulan yang seharusnya tersenyum meramahimu
Bintang yang seharusnya menderetkan cintamu
Jagat raya yang seharusnya menjadi kakimu
Lauhul mahfudz yang seharusnya melukis takdrimu
Mahabbah yang seharusnya megilhamimu
Bumi yang seharusnya menguatkan mimpimu
Matahari yang seharusnya masuk di matamu
matahari yang selamanya menunjukkan tuhan pada mu
Kemudian Tuhan yang akan mencintaimu
Dimana?

Lihatlah tuhan dalam dirimu
Lihatlah senyum-Nya
Ikutilah tarian-Nya
Nikmatilah suara merdu-Nya
Dengarkanlah takdir-Nya
Kemudian jatuh cintalah pada-Nya

Masukkan Dia dalam matamu
Masukkan Dia dalam kukumu
Masukkan Dia dalam rindumu
Masukkan Dia dalam suaramu
Masukkan Dia dalam mimpimu
Dan masukkan Dia dalam candamu

Pinjamlah otakku untuk berpikir
Pinjamlah kakiku untuk berlari
Pinjamlah anganku untuk bermimpi
Pinjamlah mataku untuk melihat
Pinjamlah tanganku untuk berdoa
Gunakanlah detakku untuk berajut
Rangkailah nyawaku padamu
Simpanlah nadiku untuk menyelamatkanmu
Pinjamlah tawaku
Lalu gunakan tangisku

Sungai kecil mengering
Dari dahan menjadi ranting
Remuk tulang-tulang dibanting
Tangis dan ratap diremas selang-seling
Tawa dan cahaya mengasing
Terpanen darah dari keringat kering
Melam berbintang tiada penting
Untukmu sahabat
Hanya ingin senyuman hati tersungging

Sahabat
diselesaikan dengan senyuman manis untuk sahabatku, Kazai Fuu dan Mohamad Abdurro’uf

Bangku Bintang, 6 Rajab 1433 H


 
Kaulah alasanku tersenyum
Tersenyum dari ikatan yang kubunuh
Tersenyum oleh tawa hati yang kau hiasi
Tersenyum untuk takdir yang kuyakini
Dan tersenyum untukmu,
yang tak pernah tersenyum (^_^)

Dengan Bismillah, Aku Kembalikan

Minggu, 03 Februari 2013
Posted by Tapak Tilas Kebudayaan
Tag :

Sore yang terbilang memesona di pesisir Dewa Bumi Sari. Dengan matahari malunya yang mengintip bumi dari balik awan. Tapi belum mampu melukis bUmi dengan warna keemasannya yang belum dinampakkan. Desir ombak mulai menyanyi membentuk suatu irama, pembacaan puisi oleh alam. Jika saja di sepanjang pesisir ada dermaga, pasti ramai sekarang. Ada yang berlaut, kapal merapat, berdagang, atau hanya sekedar jalan-jalan menikmati sore bersama kerabat. Tapi tak apalah. Pesisir berpasir putih saja sudah lebih dari cukup. Bisasanya di sana ada beberapa anak yang asyik bermain bola, belajar bersepeda, main kejar-kejaran, ataupun petak-umpet. Pokoknya pesisir itu bisa dikatakan “ndandangan”nya penduduk Dewa Bumi Sari, Aceh. Khususnya penduduk desa Serasari. Pesisir itu akan ramai setelah anak-anak pulang dari ngaji.

Beberapa jejak dari sana. Ada sebuah rumah sederhana. Seorang anak sedang terlihat mencari kerudung putihnya. Perasaan tadi ada di atas kasur. Sekarang tidak ada. Dimana. Dia kan hanya pergi mandi epek-epek sebentar. Ini pasti kerjaan kak Zahra yang usil lagi. Kak Zahra memang suka sekali menggoda adiknya yang masih kelas satu ibtida’. Yang senang sekali membuat nangis adiknya, ya Zahra. Yang biasa mengganggu belajar adiknya, ya Zahra. Yang usil memelesetkan bacaan sholat hingga membingunkan adiknya, ya Zahra. Padahal bacaan sholat adiknya belum selancar Zahra. Kerudung hilang, siapa lagi kalau bukan Zahra yang menyembunyikannya. Ada-ada saja. Biasanya barang-barang adiknya disembunyikan di lwmari, di bawah bantal, dan pernah digantungkan pada gantungan baju supaya adiknya tidak bisa mengambilnya karena masih pendek.

“Umi! Kak Zahra usil lagi. Kerudungku disembunyikan,” teriak Haura dari dalam kamar setelah mendapati kerudungnya tak ada di atas kasur.
“Zahra! Kembalikan kerudung adikmu! Dia kan mau berangkat ngaji. Kamu juga kan seharusnya ada les sore ini. Ayo berangkat,” perintah Umi sambil meneruskan jahitan pesanan tatangga.
“Tuh ada di meja belajar. Haura saja yang lupa menaruhnya,” lagi-lagi Zahra ngeles. Umi yan sudah terbiasa dengan situasi yang seperti in tidak mau memperpanjang persoalan. Kalau saja Abi pulang, anak-anak pasti akur. Tapi tak apa, Abi sedang berlaut mencari nafkah sekarang. Selama Abi berlaut, Umi jadi direpotkan pleh dua putrinya. Umi hanya bisa bersyukur dalam hati. Untung kedua anaknya perempuan. Coba keduanya laki-laki. Berantakan pula rumah itu, berkali-kali terkena tendangan penalti yang meleset.

Allaahu akbar... Allaahu akbar...” kumandang adzan menyeru dari surau-surau yang serentak berkumandang berebut masuk ke telinga penduduk Dewa Bumi Sari. Suaranya menembus bilik-bilik membentuk pedang-pedang cahaya bagi mata jiwa yang melihatnya. Adzan yang menandakan sholat ashar, dan ngaji sore segera dimulai setelah jamaah sholat ashar di surau.

            Ngaji berjalan seperti biasa. Pak Yai membaca ayat Al Quran lalu murid-murid menirunya. Murid yang masih belia memang banyak yang kurang bacaannya. Tapi Haura bisa dikatakan cukup mahir untuk anak seusianya.

“Hari ini adalah tanggal 25 Desember 2004, adik-adik. Hari perayaan natal untuk umat Kristen. Perilaku tasamuh adalah salah satu ajaran dalam agama kita. Tasamuh adalah sikap toleransi sesama umat manusia. Asalkan mereka tidak mengganggu kita, kita juga tidak boleh mengganggu mereka. Biarlah mereka memilih kepercayaanya sendiri. Ada yang mau bertanya?”
“Tidak, pak Yai,” sahut murid-murid serentak.
“Baklah. Ngaji sore ini cukup sampai di sini. Ingat! Besok, tanggal 26 Desember ada ujian praktek sholat di madrasah”. Aduh, Haura kan belum lancar bacaan sholatnya. Mudah-mudahan besok lancar-lancar saja. Ujian praktek sholat akan dilaksanakan besok, Ahad, 26 Desember 2004 jam setengah delapan pagi.

            Tak seorang pun tahu saat itu apa yang akan terjadi jika kalender menunjukkan angka 26 besok. Sejarah pilu rakyat Indonesia akan menjejakkan catatan kaki di sudut-sudut lembaran sastra, dan kata-kata pengantar yang akan menceritakan sejarah itu. Tsunami. Bencana kematian terbesar manusia Indonesia yang akan selalu dikenang setiap tanggal 26 Desember. Sejarah yang cukup kuat untuk membungkam Zahra dari usilnya, perindu bagi Haura dan Umi, dan doa yang teriring dari dunia untuk mereka.
Wassalamu ‘alaikum warohmatullaahi wabarokaatuh...” pak Yai menutup ngaji sore ini.
Wa’alaikumus salam warohmatullahi wabarokatuh” dan semoga keselamatan, rahmat dan berkah Allah tercurah padamu. Sungguh indah sapaan dalam Islam. Orang yang menyapa dan yang disapa saling mendoakan. Susunan kata warsan Rasul yang terdiri dari jumlah ismiyah. Ada makna khusus di dalamnya. Jika susunan itu diawali dengan kata kerja (fi’il) maka doa salam, rahmat dan berkah Allah juga dibarengi waktu, karena kata kerja pasti bebarengan waktu. Tapi, susunan dalam sapaan ini istimewa, menggunakan susunan yang tidak memuat waktu (isim). Semoga keselamatan, rahmat dan berkah Allah selalu dan selamanya tercurah padamu. Saking pentingnya sapaan ini dalam Islam, haram hukumnya bagi orang yang disapa tidak menyapa balik. Cermin harmonisme Islam. Di negeri Serambi Mekah ini semakin indah dengan merebaknya sapaan itu, seperti di Kudus.
            Assalamu ‘alaikum, bah. Assalamu ‘alaikum, mi. Assalamu ‘alaikum, kak Zahra. Assalamu ‘alaikum, semua. Lalu  orang yang disapa menjawab “Wa’alaikumus salam, Haura.” Bagaimana mungkin persaudaraan dan ukhuwah akan menghilang dengan mudah di tanah ini jika aturan agama yang mereka anut mengajarkan sapaan yang seharmonis ini.
            Beberapa tapak terjejak di antara butir-butri pasir padang bola. “Ayo, ra! Ikut main tim kita lagi. Pasti menang kalau ada kamu.”
“Aku mggak main bola hari ini. Aku harus belajar sholat dengan benar bersama Umi nanti malam. Aku tidak mau terlalu lelah hari ini. Tapi tim bolaku jangan sampai kalah. Auwas kalau kalah.”
            Beberapa langkah kemudian setelah Haura berjalan pulang. Langkahnya terjerat oleh mata yang memandang kalung emas putih dengan liontin H yang berkilau di ujungnya. Kalung itu terjebak di semak pada sisi yang tak terlihat dari keramaian. Haura mengambil kalung itu lalu memperhatikannya. Kalung itu sudah mampu menarik hati Haura yang masih belia. Haura berpikir. Ini adalah barang temuan yang pernah di ceritakan oleh pak Yai pekan lalu. “Hukumnya apa ya? Kalau tidak salah ini termasuk luqho... luqho... apa ya? Aduh lupa!” Haura agak lupa. Tak ada lagi kerja antar sel otaknya yang terlalu lama. Haura kembali melangkah pulang. Nanti ditanyakan pada kak Zahra.
Assalamu ‘alaikum, kak Zahra!” selalu salam jarak jauh itu dari luar pagar rumah. Berlari ke dalam rumah. Berkeliling mencari kak Zahra. Itu dia, ada di kamar. Tak ada yang pernah mendengar salam jarak jauhnya. Dia selalu menyangkal “Yang penting kan salam. Urusan ada yang dengar atau tidak itu urusan belakangan,”
“Kak, aku menemukan kalung liontin yang bagus. Lihat ini!” Haura mengeluarkan kalung itu dari balik punggungnya dengan efek ‘Jreng... Jreng... Jreng’
“Nemu dimana, ra?” tanya kakak.
“Tadi pas aku pulang, aku melihat kalung ini di pinggiran semak. Ada liontin H-nya. H untuk Haura. Aku mau tanya. Ini namanya barang luqho... apa, kak?”
“Maksudnya? O... mungkin luqhotoh yang kau maksud. Jika kamu merasa bisa mengembalikannya, maka barang ini harus kamu kembalikan pada memiliknya. Kasihan kan jika yang memiliki kalung ini kehilangannya,”
“Bagaimana aku mengembalikannya? Kalung ini kan ada di semak-semak,”
“Entahlah. Tapi kakak pernah dengar ungkapan seperti ini. ‘Sesuatu yang hilang punya cara unik untuk kembali’. Kamu harus mengembalikannya,” untuk menghindari perbincanagn lebih lanjut Zahra meninggalkan adiknya. Biasanya, kalau Haura sudah mulai bertanya, jadi panjang persoalannya. Padahal seharusnya Zahra tahu jawaban dari pertanyaan adiknya. Terkadang Zahra malah bingung sendiri dibuat adiknya.
            Haura hanya bisa ternganga. Kok begitu. Begitu saja? Ah kak Zahra memang begitu. Tidak mau membantu masalah adiknya. Haura jadi berpikir bertanya pada Umi. Umi pasti lebih tahu daripada kak Zahra yang katanya juara kelas itu.
Sekarang menjelang maghrib. Sudah menjadi tradisi di keluarga Umi untuk nderes Al Quran sehabis wiridan jamaah maghrib di rumah sampai datangnya adzan isya’. Nah, setelah isya’, rencananyaHaura akan melancarkan bacaan sholatnya sekaligus praktik secarara sempurna.
“Haura! Ayo, nak, praktek sholat. Ambil wudlu duluuntuk sholat isya’,”
“Ya, mi,” jawab Haura sambil membasuh mukanya, berwudlu.
“Zahra, nanti bacaan sholatmu agak dikeraskan sedikit agar adkimu bisa mendengarnya,”
            Sholat isya’ berjamaah dimulai dengan Umi sebagai imam sholat. “Allaahu akbar...” Haura bertakbir seraya mengangkat tangannya seperti yang diajarkan pak Yai dan Umi. Haura sudah hafal semua gerakannya. Rakaat pertama diawali takbir, doa iftitah, surat Al Fatihah, surat Al Ikhlas—sebenarnya bukan hanya surat Al Ikhlas saja yang bisa dibaca, tetapi karena surat itu yang dibaca pak Yai sewaktu mengajar dan karena suratnya pendek—ruku’, i’tidal, sujud, dukuk, sujud, lalu berdiri untuk rakaat kedua. Hanya tinggal bacaan doa iftitah saja yang kurang lancar, karena bacaannya agak panjang. Terkadang bacaan ruku’ dan sujud sering terbalik karena bacaan yang hampir sama. Selain itu bacaan Haura sudah lancar.
Allaahu akbar kabiiro walhamdu...” kak Zahra bacaanya lirih. Haura tidak dapat mendengar dengan jelas.
Inna sholatii wanusukii wama... wama...” macet.
Wamahyaaya wamamatii lillahi robbil ‘aalamiin,” alhamdulillah lancar lagi. Seharusnya kak Zahra membacanya lebih keras lagi.
            Semua bacaan dan gerakan sudah lengkap, termasuk bacaan dan gerakan yang sunah seperti mengangkat tangan pada saat takbir, doa sujud, doa iftitah, sholawat ibrohimiyah, dan menelunjukkan jari pada saat tasyahud. Terasa lengkap sudah. Besok pagi tinggal ujian praktek di madrasah.
“Mi, tadi sore aku menemukan luqhotoh yang berupa kalung ini di semak dekat lapangan bola. Kak Zahra tadi aku tanya malah kabur. Hukumnya bagaimana?” tanya Haura sesuai rencana. Umi mengerti.
“Kalung itu harus kamu kembalikan dan kamu tidak berhak atas kalung itu. Sebab kalung itu masih milik orang lain. Coba jika Haura kehilangan sesuatu yang berharga. Bagaimana perasaan Haura, sedih, kan?”jelas Umi dan balik bertanya.
“He’em mungkin aku mencarinya sampai ketemu,” Haura belum tahu apa itu sesuatu yang berharga. Barang itu adalah...
“Tentang barang temuan atau luqhotoh sudah diatur dalam Islam. Jika orang yang menemukannya merasa sanggup menjaga dan mengembalikan kepada pemiliknya, maka amant agama yang dipegangnya harus dilaksanakan, Yaitu mengembalikannya,”
“Cara aku mengembailkannya, mi?”
“Entahlah. Tapi di kalung itu kan ada liontin H-nya. Mungkin itu inisial pemiliknya. Coba besok kita cari di dekat lapangan bola. Mungkin ada sesuatu. Atau biar kak Zahra mengumumkannya di Facebook saja,”
“Ide bagus, mi!” Haura setuju.
            Umi sengaja tidak memberi tahu Haura tentang bagaimana cara memiliki kalung luqhotoh itu. Walaupun caranya agak merepotkan dengan berbagai syarat dan waktu minimal untuk bisa memiliki kalung itu adalah setahun. Agar Haura menjadi anak yang bertanggung jawab dan memiliki nilai sosial.
            Hari ini—saat beberapa orang menandai kalendernya pada tanggal 26 Desember 2004—Haura bersiap menghadapi ujian sholatnya. Berangkat bersama Umi. Kak Zahra juga ikut karena hari ini sudah liburan semester.
            Suasana jadi hening dan menegangkan bagi anak yang ikut ujian setelah anak nomor absen dipertama dipanggil untuk praktek. Semua anak duduk tegang. Orang tua yang menunggu di depan tak begitu merasakan ketegangan. Saat itu tepat pukul delapan.
“Haura Yasminul ‘Ain,” panggil pak Yai untuk maju praktek.
            Nafasnya semakin memburu. Haura meyakinkan dirinya. Bismillaahi rohmaanirrohim.
“Allaahu akbar...” tepat saat itu. Saat reetakan akhirat menjarak di Samudra Hindia. Tepat ketika asma Allah diagungkan. Gempa sekuat 8,5 skala richter menarikan tariannya. Tepat ketika malaikat maut bersiap.
“Allaahu akbar kabiiro walhamdu lillaahi katisiiro...” Mendadak air laut surut secara drastis. Orang-orang bertebaran keluar rumah dan mencari perlndungan. Di madrasah, situasi cukup terkendali, tak begitu terasa disana. Padahal jaraknya tidak jauh dari pusat gempa. Setelah gempa dirasa reda, Umi dan orang tua lainnya heboh. Tapi tidak di ruang ujian.
“Inna sholaatii wanusukii wama... wama... wamahyaaya wamamaati... lillaahi robbil ‘alamin...” Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku adalah milik Tuhan penguasa seluruh alam. Lidah kematian mengejar. Tsunami setinggi 9 meter menyapu apapun yang masih berdiri. Tarian kematian mengiringi sapuan tsunami. Situasi semakin ricuh. Tak terkendali. Semua orang panik. Tsunami mulai menyapu madrasah. Umi mencoba menerobos gerombolan orang tua yang panik menyelamatkan anaknya msing-masing. Tapi tidak bisa. Mereka tersapu tsunami bersama mayat dan sampah yang dibawanya.
“Iyyaaka na’budu waiyyaa nasta’iin. Ihdinash shiroothol mustaqiim...” tunjukkan kami jalan yang lurus. Haura tetap melanjutkan sholatnya. Pak Yai mencoba menyelamatkan Haura. Sapuan tsunami yang terlalu kuat mengehentikan langkah pak Yai. Tak sanggup ia menyelamatkan Haura. Haura tak merasa takut. Dia menganggap itu hanya air banjir biasa. Dia ingin seperti sayidina Ali yang tak merakan apapun ketika panah dipunggungnya dicabut ketika sholat. Haura ingin seperti itu. Berpikiran satu. Seperti yang dikisahkan pak Yai.
***
            Sayup-sayup mata Haura terbuka setelah beberapa hari tertutup. “Kalung itu. Dimana kalung itu. Apa yang terjadi. Dimana Umi. Dimana kak Zahra. Dimana aku,” Haura terbangun. Kaki kanannya lebam tertimpa pagar madrasah. Mencoba menegakkan badannya dan berdiri. Tapi apa ini. Dimana bangunan kota. Semuanya ambruk. Rata dengan tanah. Bau busuk menusuk hidung. Suasana menjadi sangat hening. Haura menangis. Ia rindu Umi, kak Zahra, Abi, pak Yai, dan tim bolanya. Rumahnya, madrasahnya, suraunya, lapangannya, semaknya sudah tak berbentuk. Tapi Haura harus tetap bisa menyelesaikan ujian sholatnya. Haura ingin seperti sayidina Ali dan mengembalikan kalung itu.
“Anybody there? Halo!” teriak seorang berwajah khas bule mengagetkan Haura. Haura menoleh ke sumber suara. Orang itu memakai baju dengan bendera merah-putih-biru. Orang belanda itu tak tahu kalau ada Haura, orang yang masih selamat. Semuanya nampak sama, reruntuhan.
            Haura ketakutan. Jangan-jangan orang-orang itu yang membunuh semua orang disini. Jangan-jangan bule ingin menjajah kembali. Pikirannya kacau. Haura bersembunyi di balik reruntuhan. Ketakutan Haura tak logis. Haura belum melihat lencana palang merah di punggungnya. Orang bule itu relawan. Seumpama Haura melihatnya pun dia tak tahu kalau orang bule itu relawan.
Langkah orang bule itu mendekat. Semakin dekat. Sebelum lebih dekat lagi, Haura lari. Orang bule itu berlari spontan melihat ada yang masih selamat. Dengan kaki kanan yang lebam Haura merotasi kakinya secepat mungkin. Orang bule itu berlari mengejar Haura. Langkahnya semakin cepat. Tapi bagaimanapun Haura tetap anak kecil yang tak berdaya dengan liontin di tangannya. Kejar-kejaran yang sengit berlangsung. Belum ada yang menang. Lama-kelamaan Haura tertangkap.
“Lepaskan aku. Kamu jahat! Kamu yang telah membunuh Umiku! Kamu yang telah menjajah negaraku! Lepaskan aku!” Haura berontak dari tangkapan orang bule itu. Air matanya mengucur.
“Calm down! Calm down! Rilex! Look at me!”
            Karena perbedaan bahasa yang mereka gunakan maka terjadi miss komunikasi. Orang bule jadi bingung. Dia lalu membawa Haura ke posko terdekat untuk diberi pertolongan walaupun Haura tetap berontak.
            Sesampainya di posko, Haura ditenangkan oleh wajah Indonesia yang selamat. Seorang anggota PMI menjelaskan apa yang terjadi sembari memberikan pertolongan pada kaki kanannya.
“Oh begitu,” pikir Haura.
            Seorang ibu berkalung salib mendekatinya. Ibu itu menangis melihat di leher Haura tergantung sebuah liontin H. Sepertinya ibu itu mengenali kalung yang ada di leher Haura.
“Ibu mengapa menangis?” tanya Haura.
“Ibu teringat Helina, anak ibu. Aku teringat saat membeli liontin H seperti punyamu untuk hadiah natalnya. Dia senang sekali saat itu. Lalu kami pergi jalan-jalan merayakan natal di pesisir Dewa Bumi Sari. Tiba-tiba kalung Helina hilang saat dia bermain petak-umpet. Dia menangis saat tahu liontinnya hilang. Kami mencari di sepanjang pesisir, tapi tidak ketemu.”
“Ini kalung anak ibu, ya? Aku menemukannya di semak dekat lapangan bola pesisir Dewa Bumi Sari. Ini aku kembalikan. Bismillah aku kembalikan.” Haura menyerahkan kalung itu pada mustahiqnya. “Anak ibu dimana?”
            Ibu itu semakin haru dalam tangisannya. Seharusnya Haura tidak menanyakan hal itu. Ibu itu hanya bisa menjawab dengan tangis. Haura mengerti. Dirasanya situasi tidak enak. Haura memulai obrolan.
“Aku juga rindu pada Umi dan kak Zahra, meskipun kak Zahra suka usil, Abi juga.”
“Yang sabar ya, buk, dek.” relawan Indonesia mencoba menabahkan mereka berdua. Di samping relawan itu, ada orang bule yang tadi, tersenyum manis pada Haura. Haura jadi kikuk, malu. Lalu Haura meminta maaf atas sikapnya tadi.
“Maaf ya, kak.”
Orang bule itu kembali tersenyum dan menganggukkan kepala. Walaupun bahasa ‘maaf’ mereka berbeda, orang bule itu paham. Dia paham dari sikap imut Haura yang ditunjukkan lewat kerudung yang tak lagi putihnya. Karena sinar mata peminta maaf selalu sama. Karena kata maaf, sorry, ‘afwan, ngapuntene dan apalah itu, mempunyai satu inti yang disampaikan secara keadatan negara masing-masing.
“Haura!” panggil seorang bernada gembira yang baru masuk ke dalam posko.
“Abi!”
“Haura, anakku!” Abi memeluk erat Haura. “Abi rindu padamu. Abi sudah tahu semuanya, nak. Sabar ya. Ada Abi disini.”
“Iya, bi. Umi kan sedang di surga. Tapi kak Zahra yang usil itu di surga tidak, bi?”
“Iya dong. Kan anak Abi juga.” Suasana mencair setelah tawa kecil terdengar dari posko itu. Ada Haura, ada Abi, ada ibu kalung salib, ada om... om... om... siapa ya?
Kalung itu telah kembali ke tangan pemiliknya. Lebih tepatnya ahli warisnya. Haura tahu sesuatu sekarang—yang dikatakan Umi dan kak Zahra—akan kembali. “Sesuatu yang berharga punya cara unik untuk kembali.” Sesuatu yang berharga bukan sekedar kalung. Tapi suasana ini, Abi, ujian sholat, pak Yai, toleransi dan kepergian Umi yang akan kembali.
            Suatu saat, ketika Haura harus mengejar ujian sholat yang sesungguhnya, dia akan teringat saat ini. Saat dia diwajibkan dengan luqothoh di tangannya, saat dikejar orang asing, saat mencoba berlari darinya dan harus tertangkap, saat dia harus meninggalkan tim bolanya demi sholat, saat menemukan H yang lebih menarik, saat melihat sesuatu di semak, saat merasa terperangkap oleh wama... wama... wama..., saat mencari kerudung putihnya, dia harus ingat sayidina Ali, dia harus berpikiran satu, saat itulah dia akan menemukan luqothoh dari sang Pengasih.

*) Penemu luqothoh adalah penulis di komunitas Writer Society of TBS.

diselesaikan di Kudus, 9 Desember 2011 M / 13 Muharam 1433 H dengan penuh “luqothoh” yang harus disampaikan kepada “mustahiq”nya.
Memenangkan penghargaan “Terbaik Cipta Cerpen 2011”
Selamat Datang!

Popular Post

- Copyright © 2013 Tapak Tilas Kebudayaan -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -