Sore yang
terbilang memesona di pesisir Dewa Bumi Sari. Dengan matahari malunya yang
mengintip bumi dari balik awan. Tapi belum mampu melukis bUmi dengan warna
keemasannya yang belum dinampakkan. Desir ombak mulai menyanyi membentuk suatu
irama, pembacaan puisi oleh alam. Jika saja di sepanjang pesisir ada dermaga,
pasti ramai sekarang. Ada yang berlaut, kapal merapat, berdagang, atau hanya
sekedar jalan-jalan menikmati sore bersama kerabat. Tapi tak apalah. Pesisir
berpasir putih saja sudah lebih dari cukup. Bisasanya di sana ada beberapa anak
yang asyik bermain bola, belajar bersepeda, main kejar-kejaran, ataupun petak-umpet.
Pokoknya pesisir itu bisa dikatakan “ndandangan”nya penduduk Dewa Bumi Sari,
Aceh. Khususnya penduduk desa Serasari. Pesisir itu akan ramai setelah
anak-anak pulang dari ngaji.
Beberapa jejak dari
sana. Ada sebuah rumah sederhana. Seorang anak sedang terlihat mencari kerudung
putihnya. Perasaan tadi ada di atas kasur. Sekarang tidak ada. Dimana. Dia kan
hanya pergi mandi epek-epek sebentar.
Ini pasti kerjaan kak Zahra yang usil lagi. Kak Zahra memang suka sekali
menggoda adiknya yang masih kelas satu ibtida’.
Yang senang sekali membuat nangis adiknya, ya Zahra. Yang biasa mengganggu
belajar adiknya, ya Zahra. Yang usil memelesetkan bacaan sholat hingga membingunkan
adiknya, ya Zahra. Padahal bacaan sholat adiknya belum selancar Zahra. Kerudung
hilang, siapa lagi kalau bukan Zahra yang menyembunyikannya. Ada-ada saja.
Biasanya barang-barang adiknya disembunyikan di lwmari, di bawah bantal, dan
pernah digantungkan pada gantungan baju supaya adiknya tidak bisa mengambilnya
karena masih pendek.
“Umi! Kak Zahra usil lagi. Kerudungku disembunyikan,”
teriak Haura dari dalam kamar setelah mendapati kerudungnya tak ada di atas
kasur.
“Zahra! Kembalikan kerudung adikmu! Dia kan mau
berangkat ngaji. Kamu juga kan seharusnya ada les sore ini. Ayo berangkat,”
perintah Umi sambil meneruskan jahitan pesanan tatangga.
“Tuh ada di meja belajar. Haura saja yang lupa
menaruhnya,” lagi-lagi Zahra ngeles. Umi yan sudah terbiasa dengan situasi yang
seperti in tidak mau memperpanjang persoalan. Kalau saja Abi pulang, anak-anak
pasti akur. Tapi tak apa, Abi sedang berlaut mencari nafkah sekarang. Selama Abi
berlaut, Umi jadi direpotkan pleh dua putrinya. Umi hanya bisa bersyukur dalam
hati. Untung kedua anaknya perempuan. Coba keduanya laki-laki. Berantakan pula
rumah itu, berkali-kali terkena tendangan penalti yang meleset.
“Allaahu akbar... Allaahu akbar...”
kumandang adzan menyeru dari surau-surau yang serentak berkumandang berebut
masuk ke telinga penduduk Dewa Bumi Sari. Suaranya menembus bilik-bilik
membentuk pedang-pedang cahaya bagi mata jiwa yang melihatnya. Adzan yang
menandakan sholat ashar, dan ngaji sore segera dimulai setelah jamaah sholat
ashar di surau.
Ngaji
berjalan seperti biasa. Pak Yai membaca ayat Al Quran lalu murid-murid
menirunya. Murid yang masih belia memang banyak yang kurang bacaannya. Tapi Haura
bisa dikatakan cukup mahir untuk anak seusianya.
“Hari ini adalah tanggal 25 Desember 2004, adik-adik.
Hari perayaan natal untuk umat Kristen. Perilaku tasamuh adalah salah satu
ajaran dalam agama kita. Tasamuh adalah sikap toleransi sesama umat manusia.
Asalkan mereka tidak mengganggu kita, kita juga tidak boleh mengganggu mereka.
Biarlah mereka memilih kepercayaanya sendiri. Ada yang mau bertanya?”
“Tidak, pak Yai,” sahut murid-murid serentak.
“Baklah. Ngaji sore ini cukup sampai di sini. Ingat!
Besok, tanggal 26 Desember ada ujian praktek sholat di madrasah”. Aduh, Haura
kan belum lancar bacaan sholatnya. Mudah-mudahan besok lancar-lancar saja.
Ujian praktek sholat akan dilaksanakan besok, Ahad, 26 Desember 2004 jam
setengah delapan pagi.
Tak
seorang pun tahu saat itu apa yang akan terjadi jika kalender menunjukkan angka
26 besok. Sejarah pilu rakyat Indonesia akan menjejakkan catatan kaki di
sudut-sudut lembaran sastra, dan kata-kata pengantar yang akan menceritakan
sejarah itu. Tsunami. Bencana kematian terbesar manusia Indonesia yang akan
selalu dikenang setiap tanggal 26 Desember. Sejarah yang cukup kuat untuk
membungkam Zahra dari usilnya, perindu bagi Haura dan Umi, dan doa yang
teriring dari dunia untuk mereka.
“Wassalamu ‘alaikum
warohmatullaahi wabarokaatuh...” pak Yai menutup ngaji sore ini.
“Wa’alaikumus
salam warohmatullahi wabarokatuh” dan semoga keselamatan, rahmat dan berkah
Allah tercurah padamu. Sungguh indah sapaan dalam Islam. Orang yang menyapa dan
yang disapa saling mendoakan. Susunan kata warsan Rasul yang terdiri dari jumlah ismiyah. Ada makna khusus di
dalamnya. Jika susunan itu diawali dengan kata kerja (fi’il) maka doa salam, rahmat dan berkah Allah juga dibarengi
waktu, karena kata kerja pasti bebarengan waktu. Tapi, susunan dalam sapaan ini
istimewa, menggunakan susunan yang tidak memuat waktu (isim). Semoga keselamatan, rahmat dan berkah Allah selalu dan
selamanya tercurah padamu. Saking pentingnya sapaan ini dalam Islam, haram
hukumnya bagi orang yang disapa tidak menyapa balik. Cermin harmonisme Islam.
Di negeri Serambi Mekah ini semakin indah dengan merebaknya sapaan itu, seperti
di Kudus.
Assalamu ‘alaikum, bah. Assalamu ‘alaikum, mi. Assalamu ‘alaikum, kak Zahra. Assalamu ‘alaikum, semua. Lalu orang yang disapa menjawab “Wa’alaikumus salam, Haura.” Bagaimana
mungkin persaudaraan dan ukhuwah akan menghilang dengan mudah di tanah ini jika
aturan agama yang mereka anut mengajarkan sapaan yang seharmonis ini.
Beberapa
tapak terjejak di antara butir-butri pasir padang bola. “Ayo, ra! Ikut main tim
kita lagi. Pasti menang kalau ada kamu.”
“Aku mggak main bola hari ini. Aku harus belajar
sholat dengan benar bersama Umi nanti malam. Aku tidak mau terlalu lelah hari
ini. Tapi tim bolaku jangan sampai kalah. Auwas kalau kalah.”
Beberapa
langkah kemudian setelah Haura berjalan pulang. Langkahnya terjerat oleh mata
yang memandang kalung emas putih dengan liontin H yang berkilau di ujungnya.
Kalung itu terjebak di semak pada sisi yang tak terlihat dari keramaian. Haura
mengambil kalung itu lalu memperhatikannya. Kalung itu sudah mampu menarik hati
Haura yang masih belia. Haura berpikir. Ini adalah barang temuan yang pernah di
ceritakan oleh pak Yai pekan lalu. “Hukumnya apa ya? Kalau tidak salah ini
termasuk luqho... luqho... apa ya?
Aduh lupa!” Haura agak lupa. Tak ada lagi kerja antar sel otaknya yang terlalu
lama. Haura kembali melangkah pulang. Nanti ditanyakan pada kak Zahra.
“Assalamu
‘alaikum, kak Zahra!” selalu salam jarak jauh itu dari luar pagar rumah.
Berlari ke dalam rumah. Berkeliling mencari kak Zahra. Itu dia, ada di kamar.
Tak ada yang pernah mendengar salam jarak jauhnya. Dia selalu menyangkal “Yang
penting kan salam. Urusan ada yang dengar atau tidak itu urusan belakangan,”
“Kak, aku menemukan kalung liontin yang bagus. Lihat
ini!” Haura mengeluarkan kalung itu dari balik punggungnya dengan efek
‘Jreng... Jreng... Jreng’
“Nemu dimana, ra?” tanya kakak.
“Tadi pas aku pulang, aku melihat kalung ini di
pinggiran semak. Ada liontin H-nya. H untuk Haura. Aku mau tanya. Ini namanya
barang luqho... apa, kak?”
“Maksudnya? O... mungkin luqhotoh yang kau maksud.
Jika kamu merasa bisa mengembalikannya, maka barang ini harus kamu kembalikan
pada memiliknya. Kasihan kan jika yang memiliki kalung ini kehilangannya,”
“Bagaimana aku mengembalikannya? Kalung ini kan ada di
semak-semak,”
“Entahlah. Tapi kakak pernah dengar ungkapan seperti
ini. ‘Sesuatu yang hilang punya cara unik untuk kembali’. Kamu harus
mengembalikannya,” untuk menghindari perbincanagn lebih lanjut Zahra
meninggalkan adiknya. Biasanya, kalau Haura sudah mulai bertanya, jadi panjang
persoalannya. Padahal seharusnya Zahra tahu jawaban dari pertanyaan adiknya.
Terkadang Zahra malah bingung sendiri dibuat adiknya.
Haura
hanya bisa ternganga. Kok begitu. Begitu saja? Ah kak Zahra memang begitu.
Tidak mau membantu masalah adiknya. Haura jadi berpikir bertanya pada Umi. Umi
pasti lebih tahu daripada kak Zahra yang katanya juara kelas itu.
Sekarang menjelang maghrib. Sudah menjadi tradisi di
keluarga Umi untuk nderes Al Quran
sehabis wiridan jamaah maghrib di rumah sampai datangnya adzan isya’. Nah,
setelah isya’, rencananyaHaura akan melancarkan bacaan sholatnya sekaligus
praktik secarara sempurna.
“Haura! Ayo, nak, praktek sholat. Ambil wudlu
duluuntuk sholat isya’,”
“Ya, mi,” jawab Haura sambil membasuh mukanya,
berwudlu.
“Zahra, nanti bacaan sholatmu agak dikeraskan sedikit
agar adkimu bisa mendengarnya,”
Sholat
isya’ berjamaah dimulai dengan Umi sebagai imam sholat. “Allaahu akbar...” Haura bertakbir seraya mengangkat tangannya
seperti yang diajarkan pak Yai dan Umi. Haura sudah hafal semua gerakannya.
Rakaat pertama diawali takbir, doa iftitah, surat Al Fatihah, surat Al
Ikhlas—sebenarnya bukan hanya surat Al Ikhlas saja yang bisa dibaca, tetapi
karena surat itu yang dibaca pak Yai sewaktu mengajar dan karena suratnya
pendek—ruku’, i’tidal, sujud, dukuk, sujud, lalu berdiri untuk rakaat kedua.
Hanya tinggal bacaan doa iftitah saja yang kurang lancar, karena bacaannya agak
panjang. Terkadang bacaan ruku’ dan sujud sering terbalik karena bacaan yang
hampir sama. Selain itu bacaan Haura sudah lancar.
“Allaahu akbar kabiiro
walhamdu...” kak Zahra bacaanya lirih. Haura tidak dapat mendengar dengan
jelas.
“Inna sholatii
wanusukii wama... wama...” macet.
“Wamahyaaya
wamamatii lillahi robbil ‘aalamiin,” alhamdulillah lancar lagi. Seharusnya
kak Zahra membacanya lebih keras lagi.
Semua
bacaan dan gerakan sudah lengkap, termasuk bacaan dan gerakan yang sunah
seperti mengangkat tangan pada saat takbir, doa sujud, doa iftitah, sholawat
ibrohimiyah, dan menelunjukkan jari pada saat tasyahud. Terasa lengkap sudah.
Besok pagi tinggal ujian praktek di madrasah.
“Mi, tadi sore aku menemukan luqhotoh yang berupa kalung ini di semak dekat lapangan bola. Kak Zahra
tadi aku tanya malah kabur. Hukumnya bagaimana?” tanya Haura sesuai rencana. Umi
mengerti.
“Kalung itu harus kamu kembalikan dan kamu tidak
berhak atas kalung itu. Sebab kalung itu masih milik orang lain. Coba jika Haura
kehilangan sesuatu yang berharga.
Bagaimana perasaan Haura, sedih, kan?”jelas Umi dan balik bertanya.
“He’em mungkin aku mencarinya
sampai ketemu,” Haura belum tahu apa itu sesuatu yang berharga. Barang itu adalah...
“Tentang barang temuan atau luqhotoh sudah diatur dalam Islam. Jika orang yang menemukannya
merasa sanggup menjaga dan mengembalikan kepada pemiliknya, maka amant agama
yang dipegangnya harus dilaksanakan, Yaitu mengembalikannya,”
“Cara aku mengembailkannya, mi?”
“Entahlah. Tapi di kalung itu kan ada liontin H-nya.
Mungkin itu inisial pemiliknya. Coba besok kita cari di dekat lapangan bola.
Mungkin ada sesuatu. Atau biar kak Zahra mengumumkannya di Facebook saja,”
“Ide bagus, mi!” Haura setuju.
Umi
sengaja tidak memberi tahu Haura tentang bagaimana cara memiliki kalung luqhotoh itu. Walaupun caranya agak
merepotkan dengan berbagai syarat dan waktu minimal untuk bisa memiliki kalung
itu adalah setahun. Agar Haura menjadi anak yang bertanggung jawab dan memiliki
nilai sosial.
Hari
ini—saat beberapa orang menandai kalendernya pada tanggal 26 Desember 2004—Haura
bersiap menghadapi ujian sholatnya.
Berangkat bersama Umi. Kak Zahra juga ikut karena hari ini sudah liburan
semester.
Suasana
jadi hening dan menegangkan bagi anak yang ikut ujian setelah anak nomor absen
dipertama dipanggil untuk praktek. Semua anak duduk tegang. Orang tua yang
menunggu di depan tak begitu merasakan ketegangan. Saat itu tepat pukul
delapan.
“Haura Yasminul ‘Ain,” panggil pak Yai untuk maju
praktek.
Nafasnya
semakin memburu. Haura meyakinkan dirinya. Bismillaahi
rohmaanirrohim.
“Allaahu
akbar...” tepat saat itu. Saat
reetakan akhirat menjarak di Samudra Hindia. Tepat ketika asma Allah
diagungkan. Gempa sekuat 8,5 skala richter menarikan tariannya. Tepat ketika
malaikat maut bersiap.
“Allaahu
akbar kabiiro walhamdu lillaahi katisiiro...” Mendadak air laut surut secara drastis. Orang-orang bertebaran keluar
rumah dan mencari perlndungan. Di madrasah, situasi cukup terkendali, tak
begitu terasa disana. Padahal jaraknya tidak jauh dari pusat gempa. Setelah
gempa dirasa reda, Umi dan orang tua lainnya heboh. Tapi tidak di ruang ujian.
“Inna
sholaatii wanusukii wama... wama... wamahyaaya wamamaati... lillaahi robbil
‘alamin...” Sesungguhnya
sholatku, ibadahku, hidup dan matiku adalah milik Tuhan penguasa seluruh alam.
Lidah kematian mengejar. Tsunami setinggi 9 meter menyapu apapun yang masih
berdiri. Tarian kematian mengiringi sapuan tsunami. Situasi semakin ricuh. Tak
terkendali. Semua orang panik. Tsunami mulai menyapu madrasah. Umi mencoba
menerobos gerombolan orang tua yang panik menyelamatkan anaknya msing-masing.
Tapi tidak bisa. Mereka tersapu tsunami bersama mayat dan sampah yang dibawanya.
“Iyyaaka
na’budu waiyyaa nasta’iin. Ihdinash shiroothol mustaqiim...”
tunjukkan kami jalan yang lurus. Haura tetap melanjutkan sholatnya. Pak Yai
mencoba menyelamatkan Haura. Sapuan tsunami yang terlalu kuat mengehentikan
langkah pak Yai. Tak sanggup ia menyelamatkan Haura. Haura tak merasa takut.
Dia menganggap itu hanya air banjir biasa. Dia ingin seperti sayidina Ali yang
tak merakan apapun ketika panah dipunggungnya dicabut ketika sholat. Haura
ingin seperti itu. Berpikiran satu.
Seperti yang dikisahkan pak Yai.
***
Sayup-sayup
mata Haura terbuka setelah beberapa hari tertutup. “Kalung itu. Dimana kalung
itu. Apa yang terjadi. Dimana Umi. Dimana kak Zahra. Dimana aku,” Haura
terbangun. Kaki kanannya lebam tertimpa pagar madrasah. Mencoba menegakkan
badannya dan berdiri. Tapi apa ini. Dimana bangunan kota. Semuanya ambruk. Rata
dengan tanah. Bau busuk menusuk hidung. Suasana menjadi sangat hening. Haura
menangis. Ia rindu Umi, kak Zahra, Abi, pak Yai, dan tim bolanya. Rumahnya, madrasahnya,
suraunya, lapangannya, semaknya sudah tak berbentuk. Tapi Haura harus tetap
bisa menyelesaikan ujian sholatnya. Haura
ingin seperti sayidina Ali dan mengembalikan kalung itu.
“Anybody there? Halo!” teriak seorang berwajah khas bule
mengagetkan Haura. Haura menoleh ke sumber suara. Orang itu memakai baju dengan
bendera merah-putih-biru. Orang belanda itu tak tahu kalau ada Haura, orang
yang masih selamat. Semuanya nampak sama, reruntuhan.
Haura
ketakutan. Jangan-jangan orang-orang itu yang membunuh semua orang disini.
Jangan-jangan bule ingin menjajah kembali. Pikirannya kacau. Haura bersembunyi
di balik reruntuhan. Ketakutan Haura tak logis. Haura belum melihat lencana
palang merah di punggungnya. Orang bule itu relawan. Seumpama Haura melihatnya
pun dia tak tahu kalau orang bule itu relawan.
Langkah orang bule itu mendekat. Semakin dekat.
Sebelum lebih dekat lagi, Haura lari. Orang bule itu berlari spontan melihat
ada yang masih selamat. Dengan kaki kanan yang lebam Haura merotasi kakinya
secepat mungkin. Orang bule itu berlari mengejar Haura. Langkahnya semakin
cepat. Tapi bagaimanapun Haura tetap anak kecil yang tak berdaya dengan liontin
di tangannya. Kejar-kejaran yang sengit berlangsung. Belum ada yang menang. Lama-kelamaan
Haura tertangkap.
“Lepaskan aku. Kamu jahat! Kamu yang telah membunuh Umiku!
Kamu yang telah menjajah negaraku! Lepaskan aku!” Haura berontak dari tangkapan
orang bule itu. Air matanya mengucur.
“Calm down! Calm down! Rilex! Look at me!”
Karena
perbedaan bahasa yang mereka gunakan maka terjadi miss komunikasi. Orang bule
jadi bingung. Dia lalu membawa Haura ke posko terdekat untuk diberi pertolongan
walaupun Haura tetap berontak.
Sesampainya
di posko, Haura ditenangkan oleh wajah Indonesia yang selamat. Seorang anggota
PMI menjelaskan apa yang terjadi sembari memberikan pertolongan pada kaki
kanannya.
“Oh begitu,” pikir Haura.
Seorang
ibu berkalung salib mendekatinya. Ibu itu menangis melihat di leher Haura
tergantung sebuah liontin H. Sepertinya ibu itu mengenali kalung yang ada di
leher Haura.
“Ibu mengapa menangis?” tanya Haura.
“Ibu teringat Helina, anak ibu. Aku teringat saat
membeli liontin H seperti punyamu untuk hadiah natalnya. Dia senang sekali saat
itu. Lalu kami pergi jalan-jalan merayakan natal di pesisir Dewa Bumi Sari.
Tiba-tiba kalung Helina hilang saat dia bermain petak-umpet. Dia menangis saat
tahu liontinnya hilang. Kami mencari di sepanjang pesisir, tapi tidak ketemu.”
“Ini kalung anak ibu, ya? Aku menemukannya di semak
dekat lapangan bola pesisir Dewa Bumi Sari. Ini aku kembalikan. Bismillah aku kembalikan.” Haura
menyerahkan kalung itu pada mustahiqnya. “Anak ibu dimana?”
Ibu
itu semakin haru dalam tangisannya. Seharusnya Haura tidak menanyakan hal itu.
Ibu itu hanya bisa menjawab dengan tangis. Haura mengerti. Dirasanya situasi
tidak enak. Haura memulai obrolan.
“Aku juga rindu pada Umi dan kak Zahra, meskipun kak Zahra
suka usil, Abi juga.”
“Yang sabar ya, buk, dek.” relawan Indonesia mencoba
menabahkan mereka berdua. Di samping relawan itu, ada orang bule yang tadi,
tersenyum manis pada Haura. Haura jadi kikuk, malu. Lalu Haura meminta maaf
atas sikapnya tadi.
“Maaf ya, kak.”
Orang bule itu kembali tersenyum dan menganggukkan
kepala. Walaupun bahasa ‘maaf’ mereka berbeda, orang bule itu paham. Dia paham
dari sikap imut Haura yang ditunjukkan lewat kerudung yang tak lagi putihnya. Karena
sinar mata peminta maaf selalu sama. Karena kata maaf, sorry, ‘afwan, ngapuntene dan apalah itu, mempunyai satu inti yang disampaikan
secara keadatan negara masing-masing.
“Haura!” panggil seorang bernada gembira yang baru
masuk ke dalam posko.
“Abi!”
“Haura, anakku!” Abi memeluk erat Haura. “Abi rindu
padamu. Abi sudah tahu semuanya, nak. Sabar ya. Ada Abi disini.”
“Iya, bi. Umi kan sedang di surga. Tapi kak Zahra yang
usil itu di surga tidak, bi?”
“Iya dong. Kan anak Abi juga.” Suasana mencair setelah
tawa kecil terdengar dari posko itu. Ada Haura, ada Abi, ada ibu kalung salib,
ada om... om... om... siapa ya?
Kalung itu telah kembali ke tangan pemiliknya. Lebih
tepatnya ahli warisnya. Haura tahu sesuatu
sekarang—yang dikatakan Umi dan kak Zahra—akan kembali. “Sesuatu yang berharga
punya cara unik untuk kembali.” Sesuatu yang berharga bukan sekedar kalung.
Tapi suasana ini, Abi, ujian sholat, pak Yai, toleransi dan kepergian Umi yang
akan kembali.
Suatu
saat, ketika Haura harus mengejar ujian
sholat yang sesungguhnya, dia akan teringat saat ini. Saat dia diwajibkan
dengan luqothoh di tangannya, saat
dikejar orang asing, saat mencoba
berlari darinya dan harus tertangkap, saat dia harus meninggalkan tim bolanya demi sholat, saat menemukan H yang lebih menarik, saat melihat
sesuatu di semak, saat merasa
terperangkap oleh wama... wama... wama...,
saat mencari kerudung putihnya, dia
harus ingat sayidina Ali, dia harus
berpikiran satu, saat itulah dia akan
menemukan luqothoh dari sang
Pengasih.
*) Penemu luqothoh
adalah penulis di komunitas Writer Society of TBS.
diselesaikan di Kudus, 9 Desember 2011 M / 13 Muharam
1433 H dengan penuh “luqothoh” yang harus disampaikan kepada “mustahiq”nya.
Memenangkan penghargaan
“Terbaik Cipta Cerpen 2011”