Selasa, 05 Februari 2013

Regenerasi Semangat Ngaji

Rouf (kiri) saat serah terima hadiah dengan warga setempat


Wonosobo merupakan sebuah kabupaten yang terletak di Jawa Tengah. Kabupaten ini dipagari gunung-gunung yang mengapitnya. Peradabannya cukup ramai. Namun banyak daerah di sana yang masih tertinggal dan tak jarang terisolasi dari dunia luar. Maklum, banyak daerah terletak di pelosok dan lereng gunung. Di samping itu juga Kabupaten ini tidak begitu strategis dalam jalur transportasi. Walau demikian, banyak sekali sisi kebudayaan yang dikandungnya. Salah satu dari sekian banyak budayanya adalah budaya masyarakat untuk mengaji ilmu agama.

Demi kepentingan penelusuran budaya masyarakat pelosok dalam mengaji pengetahuan agama, penulis melakukan riset langsung di desa Gedeghan kecamatan Wonosobo kabupaten Wonosobo. Agar observasi yang penulis lakukan matang, penulis melakukannya selama 9 hari. Penulis diterima di rumah sederhana milik seorang tokoh, Bapak Bedjo.

Hasil Obesrvasi
Rouf (paling kiri) foto bersama anak-anak saat perpisahan
Masyarakat Gedeghan adalah masyarakat yang awam agama. Berbagai aliran keagamaan pernah masuk di sana. Hal ini dikarenakan minimya pengetahuan agama. Dalam sejarah desa, pernah terjadi ketegangan antar dua aliran agama. Masjid utama desa direbut oleh aliran yang berbeda dari keduanya. Akibatnya masyarakat sempat memanas. Karena mereka tidak punya wawasan memadai tentang agama, jadilah mereka di bawah kekuasaan aliran baru. Hal ini berlangsung bertahun-tahun. Hingga salah seorang anak desa bernama Taqwin merantau ke Kudus guna menimba ilmu. Setelah anak tersebut kembali lagi ke Wonosobo.

Keluar dari permasalahan tersebut, masyarakat Wonosobo itu pecinta ketenangan. Terbukti dengan gaya hidupnya yang tidak neko-neko. Kehidupan mereka sederhana. Mulai pagi mereka bekerja di ladang. Ketika mereka mendengar suara adzan Dzuhur, mereka akan kembali sejenak untuk beristirahat. Kemudian pekerjaan meladang akan mereka teruskan sampai mendengar adzan Ashar jam empat sore. Kehidupan mereka begitu sederhana.

Kesederhanaan hidup mereka membuat tradisi budaya mengakar kuat dalam nadi. Salah satu budaya yang mereka pegang kuat adalah semangat mengkaji ilmu agama. Walaupun mereka masih awam dalam beragama, namun ketika penulis mengajarkan beberapa pengetahuan dasar agama di sana, antusiasme mereka begitu kentara jelas. Semuanya ikut ngaji, anak, ibu, bapak sampai kakek dan nenek sangat antusias.

Kehidupan penulis selama bersama mereka sangat bersahaja. Hanya satu penghambat komunikasi kami. Yaitu perbedaan bahasa dan logat. Namun tak begitu masalah. Mereka dapat berkomunikasi dengan bahasa wajah.

Setiap sore hari bakda Ashar, anak-anak selalu ramai memenuhi musholla kecil yang digunakan penulis unutk mengajar. Kesempatan ini dimanfaatkan betul untuk menanamkan nilai dan moral luhur serta cita-cita mengangkasa dalam karakter anak. Dengan pendekatan cerita dan permainan yang mengasah otak, mengaji agama menjadi sangat meriah.

Bakda maghrib giliran ibu-ibu yang mengaji. Penulis memberikan beberapa dasar keagamaan. Antara lain tauhid dan fiqih. Semua penulis lakukan untuk menjunjung rasa solodaritas antar saudara sebangsa. Tak lupa penulis menambahkan, “Perbedaan dalam beragama itu biasa. Yang penting kita pegang teguh prinsip kita. Kemudian kita juga harus saling menghargai antar saudara sedarah.”

Benar, semangat ngaji tidak pernah luntur di sana. Walaupun mereka kelelahan akibat seharian berladang, tak mengecilkan api semangat mereka untuk berwawasan.

Reporter : Rouf
Narasumber : Warga desa Gedhegan Wonosobo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar